Minggu, 29 Juli 2012

 

Antara Subjektifitas Penulis, Karya dan Khalayak Pembaca

Jika penulis bermaksud memberitahukan “sesuatu yang bernilai guna”, maka ia berdiri pada posisi sebagai subjek pemegang informasi penting yang sangat dibutuhkan oleh khalayak pembacanya. Tentunya informasi yang sedemikian telah didapatkannya melalui serangkaian pengalaman khususnya di realitas, diintisarikan melalui analisa guna mengambil manfaat dan berfungsi sebagai bahan mentah tulisannya, akhirnya disusun untuk dikomunikasikan dengan cara tertentu pula yang menarik perhatian pembaca.

Dalam kegiatannya ini, penulis tak bisa menampik betapa cantiknya dan halusnya rayuan keinginan mengungkapkan pendapat pribadi dan penafsiran subjektif atas pengalaman berkesan yang ingin dibagikannya melalui karya tulis. Bila ia tergoda melakukannya, maka khalayak pembaca merasa seperti seorang pendengar yang dipaksa menyimak buncahan keluh-kesah dari penulis saja padahal pembacanya juga sedang berada dalam keadaan tak nyaman. Benak pembaca digiring untuk membenarkan sikap dan pandangan penulis yang subjektif realitas teramati. Apa reaksi dari pembacanya? Jangan salahkan jika karya tulis yang susah payah disusun, menyita waktu dan konsentrasi penulis sedemikian rupa, langsung ditinggalkan tanpa permisi lagi. Mengapa pembaca terkesan berprilaku sangat kasar terhadap penulisnya? Ya, ini karena kelakuan si penulis sendiri yang dari awal proses komunikasi ide cenderung meniadakan keberadaan pembacanya. Subjektifitas penulis yang tertuang di dalam karya menghasilkan pengasingan bagi eksistensi diri pembaca. Hal ini menyebabkan rubuhnya jembatan yang menghubungkan antara harapan khalayak pembaca menyimak dengan tujuan penulis menyampaikan gagasannya melalui karya.

Penyebab utama kegagalan ini adalah karya tulis yang dibuat penulisnya tak memiliki peran fungsional sebagai media penghubung bagi pembaca mendapatkan hal yang bermanfaat dan bernilai. Pembaca melihat melalui ketajaman pisau analisanya bahwa penulis secara subjektif hanya sedang bersemangat mengekspresikan serangkaian pendapat hasil perenungan kamar gelap (private meditation), membuka aliran deras ekspresi emosional (self-expression) semata. Kurangnya abstraksi yang dapat secara jernih memproyeksikan kembali ide tulisan, sehingga mampu membuat pembaca betah dan tekun menyimak, sebab ia mengharapkan hal yang bermanfaat sebagai bayaran pantas dari kesediaannya membaca karya.

Sesungguhnya bisa dikatakan bahwa sebuah karya tulis adalah testimoni yang sedang diungkapkan penulisnya secara langsung, bagaimana pun juga mesti mempertimbangkan keterkaitan dari subjek yang ditulis dengan harapan tertentu dalam diri khalayak pembaca. Dalam konteks ini Jimmie Wayne Corder (1979 : 76) dalam bukunya Contemprary Writing : Practice and Process, dengan panjang lebar mengungkapkan pendapatnya mengenai ini:
“When you write about a subject, your writing is testimony that you have experienced the subject in some way, learned it in some way, thought about it in some way. If you expect to have a reader, then it is only fair to remember that the reader can have some expectations of you, that you are writing about the subject because it has some kind of meaning and value, that you believe can be conveyed to another.”

Jelas sekali bukan? Penulis melalui karyanya sedang berupaya mengungkapkan secara jujur apa yang telah dialaminya setelah ia berinteraksi di realitas faktual. Sebelum karyanya dihidangkan sebagai sajian lezat ruhaniah kepada khalayak pembacanya, ia dengan serius dan teliti mesti menelaahnya. Tujuannya tentu saja untuk menemukan hikmah dari pengalaman khusus yang akan dikomunikasikannya kepada pembaca. Setelah dirinya cukup yakin bahwa ada hal yang bernilai guna dalam karya tulisnya, ia baru menyampaikannya. Harapan dalam diri pembacanya telah dipertimbangkan dengan bijaksana oleh si penulis. Ia tahu jika karyanya tidak menawarkan apa pun yang baru dan berharga bagi pembaca; oleh sebab itu, si penulis mesti rela mengurut dada ketika pembacanya langsung menghilang dari hadapannya. Lenyapnya medan magnet yang mampu menarik perhatian pembaca terhadap subjek tulisan bisa diumpamakan dalam ungkapan berikut:
“My sweetheart, will you still love me tomorrow?” he felt doubtful about his lover.
“About my love for you and tomorrow?” she said, “No need to worry about it. We’ll see later. If you treat me good, I may love you tomorrow, OK?”

jadi.jpg


Pembaca adalah kekasih yang mengharapkan perlakuan layak dan manis dari si penulis. Bagaimana bisa penulis menuntut kesetiaan pembacanya yang berkelanjutan jika ia hanya fokus menuruti kehendak pribadinya saja? Setiap kalimat dalam tulisannya hanya berisi pandangan pribadi dan generalisasi pokok bahasan saja berdasarkan penelaahan subjektif. Penulis tak mau peduli dengan harapan pembaca yang ingin mesra berhubungan. Sebagai pribadi penulis lalai memberikan perlakuan istimewanya dalam pemaparan subjek tulisan yang bernas dan dapat memberikan “sesuatu yang didambakan” oleh khalayak. Abstraksinya terhadap subjek yang mau disampaikan belumlah lengkap.

Akhirnya, pembaca hanya memandang kemesraan antara dirinya dengan karya tulis si penulis sebagai petualangan cinta yang situasional, pragmatisme dalam diri pembaca yang harapannya tak diwujudkan pun bermain. Ia hanya setia terhadap karya yang memberikannya manfaat demi pengembangan pemahaman, sekaligus menawarkan kecermelangan jiwa setelah ia membaca.

Tulisan saya ini pun sebenarnya juga tak terlepas dari testimoni. Saya mengakui bahwa saya sebagai penulis amatir, saya masih berproses untuk mampu memproduksi karya tulis yang 'tak egois' karena cuma mengalirkan lava ekpresi pribadi. Saya berharap dengan terus-menerus menelaah pentingnya mempertimbangkan harapan pembaca ketika ia menyimak subjek yang sedang dideskripsikan, kelak pembaca yang setia bersedia menjadi 'kekasih' bagi karya tulis saya. Semoga saja dengan mempertimbangkan hal ini, karya tulis saya tak lagi semata menawarkan sebundel proposal berahi dari dalam diri saya sebagai penulis yang hanya berisi ketergesaan memuncratkan gagasan ke dalam lubang saluran kreativitas, sehingga klimaksnya berujung pada alienasi eksistensi pembaca.

Mudah-mudah dengan senantiasa memposisikan harapan pembaca untuk mendapatkan hal yang bermanfaat dari karya yang sedang dibacanya sebagai hal yang penting, ini akan mampu menjembatani penulis, karya tulisnya dan khalayak pembaca dalam suatu hubungan resiprokal saling menguntungkan.



(*) ilustrasi dari
yunedlukfi blogspot com
Share: