Sabtu, 28 April 2012

 

Realisme Ala Endah Raharjo : Ironi Mimpi “Wong Cilik”

Pembaca yang santai..

Jauh ke belakang berabad-abad yang lalu Sebelum Masehi seorang pemain drama masa Romawi Kuno Titus Maccius Plautus (c. 254–184 BC) pernah mengungkapkan keadaan carut-marut dalam realitas sosial melalui aforismanya: Homo Homini Lupus Est (Man Is a Wolf  to [his fellow] man.).

Aforisma ini terbukti kebenarannya sampai kini. Juga mengisyaratkan bahwa demi kelangsungan hidup dan eksistensi dirinya; sungguh manusia tak akan sungkan mengorbankan manusia yang lain walaupun berada dalam ruang hidup yang sama: masyarakat. Seperti refleksi hukum alam yang menyeleksi bahwa yang kuat akan merasa dirinya berhak merampas hidup yang lemah; demi perebutan posisi teratas dalam suatu rantai makanan ─ survival the fittest.

Mengapa kiranya seorang manusia menjadi serigala bagi sesamanya yang bisa dilihat dalam kenyataan hidup sehari-hari? Bagaimana prilaku saling menindas, melibas dan gragas demi mewujudkan kepentingan pribadi ini tetap ada di masyarakat dalam berbagai manifestasinya? Mengapa pertentangan antara kaum lemah yang tertindas dengan kaum pemegang kekuasaan yang jumawa tetap berlangsung sampai hari ini? Mari kita cari jawabannya dalam konteks realitas sosial masyarakat ”pinggiran kota” yang ada di negeri ini melalui pemikiran realisme ala pengarang Endah Raharjo di dalam cerpennya: Satu Kali Dua Meter.

Sebelum terlalu jauh membahasnya, tentu baik bagi kita untuk sekedar menyegarkan ingatan kembali sehubungan dengan realisme dalam kesusasteraan. Setidaknya kita tahu tentang apa maksud yang ingin disampaikan sebuah hasil cipta sastra ketika membuat suatu pencerminan kembali realitas sosial melalui perangkat khas yang dimilikinya, yakni unsur-unsur instrinsik dan ekstrinsiknya, realitas serba-mungkin hasil daya kreativitas penulis sastra.


Realisme dalam Sastra


Pembaca yang santai..

Sastra melalui caranya yang khas dan tidak menggurui tetapi menghibur sembari mengungkapkan apa yang terjadi secara estetis, berupaya mencerahkan masyarakat dengan membuka mata─inilah yang kita semua lakukan dan demikianlah adanya diri kita. Artinya, sastra adalah panduan yang memiliki nilai-nilai keindahan baik dalam bentuk lisan maupun tulisan, mengarahkan masyarakat untuk mengenal diri lebih jujur lagi dan perlahan-lahan menuntun pada suatu jalan yang sesuai fitrahnya sendiri, yakni manusia adalah mahluk berbudi-pekerti bukan hanya mahluk hewani yang ”bernafsu hidup”. Sastra memberikan tuntunan yang bisa digunakan oleh manusia agar dapat berada dalam cahaya kebenaran selama masa hidupnya, supaya tidak tersesat sebelum matanya menutup rapat.

Mengapa sastra bermaksud demikian? Sudah jelas sekali karena manusia memiliki dua kekuatan utama dalam dirinya, yakni kekuatan akal-budi dan kekuatan nafsu. Ketika manusia cenderung menjalani hidupnya hanya untuk memuaskan hawa nafsu, maka ia bisa sebuas serigala yang melahap habis sesamanya walaupun berada di dalam equilibirium sosial yang sama. Sebaliknya, manakala manusia cenderung menggunakan akal-budinya; ia akan bijaksana dan bisa menahan diri, menunjukkan sikap toleransi terhadap sesama bukan menjadi pemangsa. Pengarang sastra melihat hal ini dengan ketajaman mata batiniahnya. Melalui karya sastranya yang merefleksikan kembali kenyataan yang ditemui sehari-hari (realisme), pengarang berusaha menyentuh bagian terdalam jiwa manusia untuk memberitahukan: mana yang layak dan mana yang tak layak dilakukan manusia baik secara individual maupun kolektif.

Sastra memberdayakan nurani di dalam diri manusia dengan memberikan ”cermin kebenaran” untuk mengintrospeksi diri dari kekhilafan yang dilakukan. Inilah tujuan realisme dalam kesusasteraan, yaitu untuk mengungkapkan kenyataan sehari-hari yang mengandung nilai-nilai kebenaran universal, direfleksikan kembali sehingga membuka mata dan berupaya memperbaiki demi kemaslahatan bersama.  Literature is the reflection of its society.

”Sastra memang karya tulis, akan tetapi yang penting bukanlah tulisannya, melainkan yang ada di dalamnya (Budi Darma dalam bukunya Solilokui, 1984 : 51).”

Kita mengetahui dengan membaca sebuah hasil cipta sastra, kita merasakan suatu pengalaman baru yang dapat membawa perubahan pada pola pikir dan prilaku. Mengapa? Karena di dalam karya sastra yang baik dan sedang kita nikmati melalui pembacaan yang cermat, kita menemukan persoalan hidup yang tengah dikemukakan oleh pengarang sastra sehingga kita bisa membuat studi perbandingan untuk memperbaiki diri. Persoalan hidup yang bagaimana? Nilai-nilai kebenaran universal seperti apa kiranya yang didapat melalui membaca karya sastra dengan berbagai jenrenya itu? Ada cinta, ambisi, kebencian, sikap welas-asih, tendensi individualistik dan banyak lagi yang diungkapkan di dalam karya sastra. Semua ini benar-benar terjadi di masyarakat. Bagaimana bisa? Sedangkan karya sastra tak dapat terlepas dari kecenderungan khayali karena daya imajinatif dalam proses penciptaannya. Pengarang mendayagunakan imajinasi intelektualnya memaparkan kembali apa yang sebelumnya dialami, dihayati untuk mencari hikmah yang terkandung di dalam tiap realitas di masyarakatnya. Sebab sebagai mahluk sosial pengarang juga berinteraksi dengan realitas sosial, ikut terlibat baik secara langsung maupun tak langsung dalam suatu hubungan resiprokal yang terus-menerus. Pengarang sastra melihat bahwa manusia demi cinta (dalam pengertian luas) akan mampu melakukan berbagai tindakan. Misalnya, ia melihat bagaimana cinta seorang ibu demi anaknya, sang bunda mau mengorbankan apa yang terbaik yang dimiliki. Atau, pengarang menyaksikan betapa demi menegaskan keberadaannya yang eksklusif karena memiliki sedikit pengaruh, orang akan semena-mena terhadap orang lain yang mungkin lebih lemah dari dirinya (ambisi pribadi dan eksistensi diri dalam pertentangan antar kelas sosial di masyarakat). Melalui tulisannya, pengarang menyajikan ini setelah sedikit-banyak ia bumbui dengan narasi atau pun kecenderungan puitik agar dapat menarik perhatian pembaca. Pembaca merasa terhibur oleh ungkapan puitik berestetika dalam bahasa sastra sekaligus diberikan pengalaman batiniah yang baru. Tercapailah tujuan pengarang yakni berniat menghibur dan mencerahkan masyarakatnya. Itulah tujuan sastra sebagai hiburan yang mendidik khalayaknya. Demikian juga kiranya sifat mimetik fungsional sebuah karya sastra dengan tendensi realistiknya tersebut.


Realisme dalam Cerpen ”Satu Kali Dua Meter”


Pembaca yang santai..

Setelah ingatan kita kembali segar sehubungan dengan pengertian realisme dalam kesusasteraan dan tujuannya, maka kita bisa menelaah bagaimana realisme tergambar dalam cerpen ”Satu Kali Dua Meter” ini.

Ada beberapa petunjuk yang dapat mengarahkan kita untuk melihat refleksi/pencerminan realitas sosial dalam karya pengarang Endah Raharjo ini. Pertama, deskripsi keadaan, adat kebiasaan dan suasana yang diilustrasikannya jelas memaparkan kenyataan yang berhubungan dengan ”identitas sosial” kaum marjinal. Kedua, pola struktur fungsional pembagian kewenangan/pengaruh sosial antar individu di dalam kelompok; terang mendeskripsikan siapa subjek yang menguasai dan siapa saja yang dikuasainya, juga menggambarkan apa objek yang sedang diperebutkan. Ketiga, beragam konflik sosial dan psikologis yang dilukiskan pengarang dengan maksud menekankan hubungan sebab-akibat yang terjadi dari interaksi sosial individu sebagai bagian dari kelompoknya─realitas faktual kaum urban perkotaan.

Apakah pengarang juga seorang sosiolog yang sedang bermaksud menerangkan kondisi riil di golongan masyarakat tertentu yang sedang ia lukiskan melalui karyanya? Jangan ditanyakan lagi soal itu! Pengarang tentu saja seorang memahami kondisi sosial kemasyarakatan yang menjadi material utama bangunan karya sastranya. Berdasarkan sudut pandang sosiologi sastra, jelas sekali bahwa pengarang adalah individu yang meneliti kondisi sosial melalui pengamatan langsung, lalu menguraikan kembali hasil/fakta-fakta dari penelaahan cermatnya ini melalui karya sastra dengan dilengkapi oleh segala sikap dan pandangan pribadinya. Pengarang berkenaan dengan aktifitas penciptaan karyanya yang berdasarkan fakta sosial teramati; ia berperan sebagai ”agen sosial” yang membuka saluran aspirasi komunitas tertentu (dalam konteks ini merujuk pada representasi suara kelompok marjinal), mungkin saja sebelumnya saluran ini tersumbat oleh tembok tebal hierarki kekuasaan sehingga terabaikan. Ia lantas mengambil sikap dengan memposisikan diri sebagai ”penanda” yang mengantarkan benak pembaca ke arah kenyataan sosial sebenarnya sebagai hal yang ”ditandai” olehnya. Sehubungan dengan ini, Dr. Nyoman Kutha Ratna dalam bukunya Sosiologi Sastra (206 : 2003) menjelaskan, ”Sebagai fakta kultural, karya sastra, sebagian atau seluruhnya dianggap representasi kolektivitas, yang secara esensial berfungsi untuk memperjuangkan aspirasi dan kecenderungan komunitas yang bersangkutan.” Tersirat dari penjelasan definitif ini, pengarang melalui karya sastranya yang realistik merasa terpanggil untuk menyuarakan apa yang dirasakan ”kaum pinggiran kota” dengan segala macam permasalahan hidup di lingkungan sosialnya yang sesak. Sikap pengarang yang bertendensi pada kepedulian sosialnya berupaya untuk menemukan cara penyampaian fakta kultural yang ditemui kepada khalayak melalui kreasi seninya─karya sastra.

Pembaca yang santai..

Tadi saya sudah mengatakan bahwa ada beberapa indikator yang mengarahkan kita pada pencerminan realitas sosial dalam cerpen ”Satu Kali Dua Meter.” Mari kita bahas satu demi satu untuk lebih memperjelas pemahaman kita.

Endah Raharjo, seniman yang telah menguraikan ”identitas sosial Wong Cilik” dalam cerpennya ini, mendayagunakan kekuatan deskripsi sapuan terperinci untuk merepresentasikan gambaran realitas faktual teramati olehnya. Mari kita cermati ilustrasi deskriptif menyeluruh yang ia paparkan berikut ini dimulai dari pembayangan awal/abstraksi untuk membangun suasana cerita,

Dada Lastri kembang kempis dipenuhi rasa girang bukan kepalang. Matanya berbinar-binar memandangi parit di dekat rumahnya yang selama ini menganga dan berbau busuk itu, kini bagian atasnya telah tertutup dak beton.

Lastri berlari menyusuri gang-gang becek, hujan deras habis mengguyur kampungnya dan seluruh kota. Hampir saja ia menabrak tetangganya, yang sedang belajar naik sepeda.

”Wooo, jelalatan kayak setan!” pekik bapak si anak.

Di kampung pinggir sungai itu orang terbiasa memaki, tak ada yang peduli. Penghuninya sebagian besar pendatang dari desa atau kota lain yang menganggur, bekerja serabutan jadi buruh bangunan, pedagang asongan, penjaja makanan keliling, pelacur, hingga pencopet. Yang terakhir itu pun diakui sebagai sebuah profesi, selain membutuhkan ketrampilan, kegiatan hina itu mampu menghidupi. Kampung itu juga menjadi langganan tetap penggerebekan polisi.

Sungai yang melintas di pinggir kampung itu terbelah menjadi dua, lalu kembali bertemu di ujung selatan kampung. Anak sungainya yang kecil selebar sekitar dua meter, serupa parit, masuk meliuk ke dalam kampung. Orang-orang menyebutnya Kali Bathang gara-gara limbah rumah tangga yang disalurkan ke parit itu menimbulkan bau menyengat seperti bangkai. Anak-anak kecil dan laki-laki dewasa sering buang hajat besar, langsung berjongkok di tebingnya.

Di sepanjang Kali Bathang ada jalan kecil yang selalu dipadati pengendara motor; mereka bisa menghemat waktu sampai 10 menit menuju jalan utama lingkar selatan. Tiga bulan lalu kampung itu mendapat dana bantuan yang disalurkan ke kampung-kampung oleh pemerintah kota. Sebagian warga yang sering membaca koran di halaman kantor kelurahan tahu dana itu tidak tepat disebut bantuan. Menurut berita, hutang luar negeri itu angsurannya dibebankan itung gundul pada semua rakyat. Tak peduli kaya atau melarat.” 


Jelas sekali bukan? Keadaan sesak penuh polusi berbaur dengan sempitnya ruang hidup, suasana kumuh, yang secara otomatis mengkarakterisasi identitas sosial penghuninya dengan adat-kebiasaan bertipikal kasar dan rentan kekerasan. Bahkan, gambaran ini diperjelas lagi dengan keterangan dan pola komunikasi yang kerapkali dipakai yakni kalimat yang bernada makian untuk menyampaikan pikiran dan perasaan tiap individu dalam interaksi antar personal.

”Wooo, jelalatan kayak setan!” pekik bapak si anak.

”Di kampung pinggir sungai itu orang terbiasa memaki, tak ada yang peduli. Penghuninya sebagian besar pendatang dari desa atau kota lain yang menganggur, bekerja serabutan jadi buruh bangunan, pedagang asongan, penjaja makanan keliling, pelacur, hingga pencopet.”


Latar belakang tempat berlangsungnya cerita diterangkan terjadi di kampung pinggir sungai. Kali Bathang yang membelah kampung kumuh tersebut menggambarkan suasana ruang sesak padat dimana menjadi ”tanda pengenal” khusus para penghuninya yang berprofesi pekerja kasar dan pelaku kriminal. Ini secara tersirat merujuk pada identifikasi diri secara kolektif bahwa kaum marjinal yang digambarkan seolah-olah punya ”hukum sosial tersendiri” terlepas dari segala aturan yang berlaku. Maka, karakteristik nyata mereka dilukiskan juga oleh pengarang sebagai kelompok masyarakat yang gemar melanggar hukum positif karena terkondisi tekanan hidupnya yang keras, sebagaimana yang disimpulkan dalam proposisi ini:

”Kampung itu juga menjadi langganan tetap penggerebekan polisi.”


Apakah ada tipe kelompok masyarakat yang demikian di kenyataan sehari-hari sebagaimana dilukiskan pengarang dalam cerpennya ini? Tentu ada dan banyak sekali contohnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa semakin cengkeraman kuku kesulitan ekonomi kukuh merengkuh masyarakat di pelosok-pelosok terpencil, semakin tinggi biaya hidup yang berkontradiksi dengan lemahnya kemampuan ekonomi rakyat miskin tersebut; maka semakin tinggi angan mereka melambung ke lengkung langit agar lepas dari penderitaan. Lalu, ditempuhlah cara pindah ke daerah-daerah lain, ke kota-kota besar dengan berbondong-bondong, terjadilah urbanisasi besar-besaran. Pengarang menyaksikan hal ini juga. Ia melihatnya dan melukiskannya kembali dalam karya sastranya yang realistik.

Akibat dari urbanisasi ini tak lain muncullah kelompok masyarakat pinggiran dengan suatu budaya baru sebagai hasil pengkondisian interaksi timbal-balik dengan lingkungan sosial baru pula. Namun, tentu saja budaya baru (budaya urban pinggiran) yang merupakan pembauran bawaan adat-istiadat lamanya terkesan pragmatis, karena yang terpenting bisa bertahan hidup sementara waktu. Pengarang, Endah Raharjo melukiskan tentang hal ini dalam deskripsi berikut:

”Sungai yang melintas di pinggir kampung itu terbelah menjadi dua dan kembali bertemu di ujung selatan kampung. Anak sungainya yang kecil selebar sekitar dua meter, seperti parit, masuk meliuk ke dalam kampung. Orang-orang menyebutnya Kali Bathang karena limbah rumah tangga yang disalurkan ke parit itu menimbulkan bau menyengat seperti bangkai. Selain itu anak-anak kecil dan laki-laki dewasa sering buang hajat besar dengan cara langsung berjongkok di tebingnya.”

Apa sebab orang-orang dalam cerpen ”Satu Kali Dua Meter” yang ditulis pengarang memiliki perangai buruk (mengotori lingkungan sekitarnya, berak berparade, berjejer-jejer semaunya di tebing tanpa tahu malu) sebagaimana yang dilukiskan? Tentu ini adalah suatu adat kebiasaan yang tercipta akibat prinsip ”manfaatkan dulu apa yang ada”. Inilah budaya urban pinggiran yang mencoba bertahan hidup dengan memfungsikan fasilitas alami di sekitarnya secara ekstrim.

Bila kita tinjau dari perspektif psikologi sosial tentang hubungan bagaimana bisa suatu norma (etika) tak berlaku dengan kaum pinggiran, maka kita akan melihat bahwa tiap individu di kelompok sosialnya akan membentuk persepsi tersendiri dengan lingkungan tempat tinggalnya berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang dicontohkan oleh para penghuni lain yang berada di tempat yang sama secara in-group.  Lebih sederhananya lagi begini, bagaimana bisa seseorang mau ”sok sopan, tertib dan beretika” dalam berprilaku jika orang lain di sekitarnya lebih cenderung bertindak sebaliknya? Jadi, jangan heran kalau melihat orang pinggiran kelakuannya super cuek dan kreatif seperti berak di tepian sungai saat orang banyak melintas di depannya, dan membuang sampah di dalam sungai tersebut. Ini sudah biasa karena sesuatu yang telah dilembagakan sebagai norma baru: pragmatisme ekstrim yang dilakukan secara kolektif sejak lama. Prilaku pragmatis yang ekstrim ini selanjutnya menjadi penanda identitas sosial mereka juga. Maka, masyarakat lain pun membentuk opini publik untuk menyebut watak sosial kaum pinggiran tersebut yang tendensius bernada negatif. Pengarang secara lihai telah melukiskan pula tentang hal ini. Penggunaan kata ”bathang” yang dalam bahasa Jawa berarti bangkai secara semiotis merujuk pada pengertian pendapat umum dengan ”cap miring” untuk diberikan kepada karakter tipikal kolektif penduduk pinggiran kota yang kumuh.

Pembaca yang santai..

Selanjutnya, pengarang sedikit menyindir melalui deskripsi ironi dramatis tentang fenomena pembohongan massal yang dilakukan ”elit” atau mereka yang ”berkuasa”.

”Tiga bulan lalu kampung itu mendapat dana bantuan yang disalurkan ke kampung-kampung oleh pemerintah kota. Sebagian warganya yang sering membaca koran di halaman kantor kelurahan tahu bahwa dana itu sebenarnya tidak tepat disebut sebagai bantuan karena merupakan hutang dari luar negeri yang angsurannya dibebankan itung gundul pada semua rakyat. Tak peduli kaya atau melarat.”

Kita semua tahu bahwa hutang luar negeri Indonesia kepada lembaga internasional pemberi bantuan sudah sedemikian menumpuk. Pengajuan hutang luar negeri ini sebenarnya bukan untuk percepatan pembangunan, pemerataan untuk kesejahteraan rakyat, tetapi lebih untuk diprioritaskan pada kelompok-kelompok tertentu yang dekat dengan ”ring of power”, yang tak lain adalah para kapitalis, elit politik. Untuk rakyat biasanya hanya remah-remah sisa yang diperebutkan setelah disunat sana-sini. Ironisnya, beban hutang luar negeri ini ternyata memang ditanggung semua rakyat Indonesia, bahkan bayi yang baru lahir pun juga terkena dikarenakan pencicilan untuk melunasi hutang-hutang bertumpuk tersebut sungguh jangka waktunya sangat lama (istilah simbolik dari pengarang: itung gundul). Sekedar untuk menina-bobokan sementara waktu, maka dibuatlah macam-macam program pemberian bantuan untuk rakyat miskin. Citra yang ingin ditampilkan adalah ”elit” memiliki kepedulian pada rakyat banyak. Ah, sungguh itu sebuah pencitraan belaka maksud sebenarnya! Ini juga salah satu realitas faktual yang ingin disampaikan pengarang dalam cerpennya tersebut, dan pengarang berhasil mengutarakannya sembari membangun suasana cerita yang hidup atas kondisi riil yang terjadi.

Pembaca yang santai..

Kalau kita mau membuka mata dan melihat dengan cermat, sungguh di kehidupan sehari-harinya, antara individu terjadi persaingan dengan individu lain di kelompok sosialnya. Dalam konteks ini, siapa yang berhasil merebut pengaruh dan mengontrol keadaan tempatnya bersosialisasi tersebut, maka dirinya lah yang berkuasa. Suatu hukum sosial tersendiri biasanya tercipta atas dasar persaingan kepentingan yang menyebabkan suatu antagonisme. Dalam kondisi sosial yang antagonistik tersebut, cita-cita dan impian seorang individu berkonflik secara intens dengan lingkungan sosialnya. Disinilah kekuatan pengarang yang brillian memaparkannya melalui ”impian Lastri”. Tokoh utama cerita menyaksikan bahwa ada jalan keluar yang bisa ia tempuh dari kesulitan hidupnya sebagai urban setelah melihat keadaan lingkungannya yang baru saja dibenahi. Konflik psikologis yang berhadapan dengan konflik sosial diintrodusir dari angan-angan protagonis yang berpengharapan besar menemukan ”lahan hidup baru” agar bisa sedikit bernapas lega. Mari simak penjelasan naratif berikut ini:

“Dananya untuk nutup Kali Bathang saja, Pak RT!” Begitu salah satu usulan yang dilontarkan oleh para warga yang rumahnya berada di sekitar parit. Setelah melalui beberapa kali rapat warga, maka tak lama kemudian jadilah Kali Bathang ditutup dengan pasangan beton.

Selain bau bacin hilang, di atas parit itu kini ada ruang kosong selebar sekitar dua meter sepanjang parit hingga ke ujung kampung, kira-kira 200 meter.

Lastri ingin memanfaatkan sebagian dari ruang yang dianggap tak bertuan itu.


Secara struktural, kita tahu memang penguasa resmi di lingkungan setaraf  Rukun Tetangga adalah Ketua RT. Bila ada instruksi di atasnya untuk melaksanakan program tertentu dari pemerintah, maka Ketua RT mengadakan musyawarah dengan penduduk setempat. Dalam konteks ini, setelah dicapai kesepakatan dengan warga, dana bantuan yang sebenarnya hutang itu dimanfaatkan untuk perbaikan lingkungan, menutup Kali Bathang. Lastri sebagai penduduk kampung tersebut melihat hasil dari perubahan ini. Ia melihat ada ruang untuk memulai suatu usaha kecil-kecilan yang menurut prediksinya; nanti usaha tersebut bisa mengeluarkan keluarganya dari lubang sempit kesulitan hidup.

“Kita bisa jualan, Kang! Kita jadi bikin kios, Kang!” setengah menjerit Lastri menubruk tubuh suaminya yang tergolek di lantai beralaskan kasur tipis usang. Wajahnya berbinar-binar memandangi mata suaminya yang terpejam sembari bibirnya menggumamkan doa. Di kampung itu Lastri sekeluarga merupakan bagian dari minoritas yang masih percaya pada doa.

Lastri yakin dan percaya kesulitan perekonomiannya bisa ia atasi (diisyaratkan oleh pengarang melalui tokoh utama cerita dan keluarganya percaya pada do’a yang dipanjatkan─tangan-tangan misterius Tuhan akan membantunya), kelak dengan berjualan di lapak kecil tersebut (ruang yang dianggap tak bertuan itu) merupakan satu-satunya jalan terbaik lepas dari himpitan kemiskinannya. Manusiawi sekali, bukan? Dari sini berkembanglah suatu angan menjadi ambisi pribadi si tokoh utama cerita. Ini dijelaskan pengarang melalui penayangan ulang latar belakang yang menyebabkan kemiskinan keluarga tokoh utama cerita (sang suami, tulang punggung keluarga tak berdaya, mengalami kelumpuhan total). Kemudian, pengarang mengerucutkannya kembali menjadi kesimpulan bahwa impian Lastri, si protagonis, telah menggelembung menjadi hasrat berapi-api setelah melihat kemungkinan realisasi cita-citanya ( gilar-gilar yang tak ada pemilik itu ’memungkinkan’ keinginan Lastri memiliki kios segera menjadi nyata, dan sang anak sulung sebagai sumber daya mungkin akan berkenan membantu).

Tiga tahun lalu, karena jatuh dari atas atap bangunan lantai tiga, Diman, suami Lastri yang buruh bangunan itu lumpuh total. Sejak itu, perempuan buruh cuci itu menjadi tulang punggung keluarga dan memilih berteman dengan kesusahan hidup, karena setiap kali mencoba melawan, ia selalu terkalahkan.

Salah satu angan-angan yang dipendamnya sejak lama adalah memiliki kios untuk berjualan bensin, rokok, majalah dan pulsa. Namun Lastri tidak punya koneksi untuk mengkapling kakilima yang terdekat dari kampungnya. Hidup di kota semakin keras saja, bahkan untuk berdagang di kakilima perlu koneksi untuk menyewa atau membeli kapling satu kali dua meter.

Kini di kampungnya ada ruang gilar-gilar di pinggir jalan kecil yang ramai, yang tidak ada pemiliknya. Angan-angan Lastri untuk memiliki kios segera menjadi nyata.
Darto, anak sulungnya yang lulusan SMP dan tidak bisa meneruskan sekolah berharap bisa menjaga kios itu sementara pagi hingga sore Lastri bekerja. Sore hingga malam, Lastri bisa menggantikan anaknya. Punya kios sendiri pasti untungnya lebih besar, pikir Lastri.

Pembaca yang santai..

Mencermati proses bagaimana angan-angan individual (impian Lastri) menggelembung menjadi ambisi setelah melakukan suatu verifikasi sosial terhadap lingkungan di sekitarnya, dapat kita pahami secara skematis sebagaimana yang diperlihatkan di bawah ini:

Bagan

Keterangan :

A dan C = Awalnya Lastri dan keluarga miskinnya termotivasi dan berhasrat lepas dari himpitan kesulitan hidup (cita-cita dan tujuan pribadi).

B = Lastri dan keluarganya melihat suatu perubahan di lingkungan sosialnya yakni pemasangan dak beton menutup Kali Bathang, menyediakan ruang untuk berjualan (menimbulkan keinginan kuat untuk mewujudkan cita-cita sebelumnya).

A dan B = Jika tokoh utama ingin merealisasikan cita-citanya, maka ia harus mengarahkan kegiatan dan pikirannya ke usaha tersebut secara lebih aktif dan terarah (reaksi ambisius akibat hasrat terpendam dan peluang emas yang memuluskan jalannya). Apa sebab?

B dan C = Karena di lingkungan sosialnya yang telah berubah memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk mewujudkan impiannya tersebut, ditambah lagi ia punya SDM yang bisa diandalkan dan kesempatan memiliki kios dulunya yang begitu sulit karena mesti ‘mengkavling’ telah terbuka (angan-angan menjadi ambisi).

Bagaimana bila upaya ambisius dalam rangka merealisasi impian tokoh utama ini mendapat rintangan, baik hambatan yang kecil maupun yang besar? Bisa diduga reaksi selanjutnya adalah serangkaian tindakan progressif yang bersifat mendobrak. Hal ini bisa berbentuk baik tindakan personal yang dilakukan sendiri, maupun aksi yang meminta dukungan penuh dari orang-orang terdekatnya (militansi). Kalau boleh meminjam hukum Archimedes tentang benda yang ditenggelamkan: semakin lama terbenam oleh derita kemiskinan yang dialami tokoh utama dan keluarganya, maka reaksi progressif revolusioner untuk melompat keluar dari kubangannya pun semakin kuat mendorong. Dalam hal ini pengarang menggambarkannya melalui teknik gradasi alur cerita yang sedemikian halus. Jujur saja saya sendiri pun mesti berulang-ulang mencermatinya. Mari kita simak ilustrasi selanjutnya.

“Darto suruh pulang ke gunung saja,” pinta emak Lastri yang masih kuat menanam singkong, jagung, kacang dan apa saja yang bisa tumbuh di ladang di atas gunung yang menjadi gantungan hidupnya.

Darto menolak. Pikirnya untuk apa bekerja di ladang yang tampaknya segunduk gunung tapi hasilnya jauh lebih sedikit daripada satu kali dua meter tanah di pinggir jalan di kota. Dengan kios ukuran satu kali dua meter Darto yakin bisa mendapat minimal 25.000 rupiah bersih tiap hari. Berlipat kali lebih banyak daripada menanam singkong di gunung yang setelah beberapa bulan hasilnya belum tentu bisa ditukar beras.

“Aku mau, Mak, bikin kios buat jualan pulsa,” kata Darto. “Uangnya buat beli sepeda motor, ya, Mak.” Belum-belum pemuda kurus tujuh belas tahun itu sudah bermimpi.

Kalau punya sepeda motor, tiap pagi dia bisa mengantar adik perempuannya ke sekolah dan kenalan dengan teman-temannya yang manis-manis itu. Mungkin dia bisa sekali-kali memboncengkan salah satu di antara mereka. Angan-angan anak sulung Lastri melambung tinggi.

“Aku mau utang sama Yu Minah, Kang. Buat bikin kios,” gumam Lastri sambil ngeluk boyok, meluruskan punggungnya karena penat seharian mencuci dan menyeterika. Sambil mengelus-elus kaki lumpuh suaminya, Lastri memandangi Darto yang menggelesot di sampingnya, menonton TV yang layarnya buram.

Walaupun bila dirasa-rasakan hidup Lastri cukup pahit, tapi ia rajin bersyukur karena dua anaknya berperilaku manis. Begitu tahu tidak bisa meneruskan sekolah, Darto langsung bekerja serabutan. Apa saja dia kerjakan yang penting halal dan bisa menghasilkan uang.

Pernah pada musim liburan di bulan Desember, ketika hujan mengguyur kota setiap hari, dia menggenjot sepeda ke pusat pertokoan terbesar di kota sejauh 5 kilometer untuk menjadi ojek payung. Tapi kegiatan itu ia hentikan karena preman di sana tidak mengijinkan anak-anak dari luar ikut masuk ke daerah kekuasaan mereka.

“Aku punya celengan sedikit, Mak, bisa dipakai dulu,” Darto menawarkan tabungannya. “Nggak usah pinjam sama Yu Minah. Nanti nyicilnya repot. Kalau kita bolong sekali saja rentenir itu tiap hari pasti teriak-teriak di depan rumah.”

Darto bangkit mengambil celengan yang disimpan di ruang sebelah yang biasa dipakai tidur Lastri dan anak perempuannya. Rumah kecil itu punya tiga ruangan dan yang paling kecil dipakai untuk dapur. Mereka tidak punya kamar mandi. Setiap hari mereka harus ke sumur umum milik kampung untuk mandi, buang hajat dan mencuci. Setiap hari pula Lastri dan Darto bergantian membantu Diman mandi dan buang hajat. Lastri lebih sering mandi di rumah majikannya. Untuk masak dan minum, sepulang kerja Lastri selalu menggendong dua galon penuh air yang diambil dari sumur atau ledeng majikannya.

Kontraktor yang dulu mempekerjakan Diman memberinya kursi roda. Setiap hari ia membantu Lastri menyeterika cucian kering yang dibawa pulang. Sambil memejamkan mata Diman membayangkan calon kios kecilnya yang di dalamnya harus diberi kursi dan tikar agar dia bisa ikut menjaga bergantian dengan Lastri dan Darto. Senyumnya terkembang. Digenggamnya tangan Lastri yang tengah memijit-mijit lututnya, tangan-tangan yang kering dan kasar.


Dapat kita lihat bersama, bukan? Pengarang melukiskan Lastri dan keluarganya dari dulu telah hidup melarat. Sebagai keturunan dari keluarga yang melarat pula, universitas kehidupan mendidik mereka agar dapat bertahan dengan semangat juang yang tinggi dan saling membantu. Secara tersirat mereka dilukiskan pengarang sebagai keluarga urban miskin yang mengadu nasib di kota dengan segala daya upaya. Sifat memberdayakan segala kemampuan dan kekompakkan ini dilukiskan pengarang melalui suasana kehidupan sehari-hari bersahaja dari keluarga tokoh utama cerita.

Ketika orang tua Lastri meminta anaknya, Darto, pulang ke dusunnya untuk bertani di pegunungan, saya menafsirkannya sebagai upaya pengarang untuk mengkonfrontasikan impian protagonis dengan latar belakang kehidupan awal sebelumnya. Yang tentu saja sebagai cara menghadirkan konflik sosial dalam cerita secara halus.

Pengarang menerangkan secara tersirat pula melalui penolakan Darto yang tak sudi lagi bersengsara-ria di gunung sebagai wujud kebulatan tekad yang ambisius merealisasikan impian tokoh utama cerita.  Selain itu, pengarang juga menjelaskan dukungan moril untuk perwujudan ambisi tokoh utama telah ada dalam bentuk militansi anggota keluarga yang rela mengorbankan uang simpanan hasil usahanya sendiri─celengan Darto.

Sehubungan dengan menularnya virus impian Lastri memiliki kios terhadap anggota keluarganya yang lain, saya menginterprestasikannya sebagai ekspresi pelarian psikologis, suatu fantasi yang mengandung hasrat terpendam dan berasal dari alam bawah sadar yang ingin terlepas dari jerat kemiskinan yang telah mencekik sedemikian lama. Ungkapan lazim yang sering kita dengar sehubungan dengan ini adalah ”Terkadang lebih nikmat makan roti di alam mimpi daripada terus-menerus makan singkong rebus di kenyataan sebenarnya.” Biasanya, fantasi ini terjadi pada diri  individu yang tak berdaya sama sekali untuk mewujudkan keinginannya dikarenakan faktor-faktor tertentu, misalnya cacat fisik. Pengarang melukiskan khayalan nikmat untuk sejenak lepas dari sesak akibat dera berkepanjangan ini melalui wujud sikap berpanjang angan-angan yang dilakonkan suami sang protagonis. Fantasi melarikan diri dari kenyataan ini juga kerapkali terjadi pada diri individu yang kejiwaannya masih berkembang dan belum stabil. Lazimnya ini sering terjadi pada remaja. Bisa dilihat dari melambungnya angan-angan Darto ingin punya sepeda motor padahal baru mendengar perencanaan membuka kios.

Tetapi, lain cerita bila fantasi jenis ini merasuk ke dalam diri individu yang mungkin bisa mewujudkannya. Ada kemungkinan tindakannya lebih berani menempuh resiko yang besar karena termotivasi. Pengarang menayangkannya sebagai prilaku Lastri yang mau meminjam uang untuk modal berjualan tersebut dengan ’lintah darat’. Tokoh utama digambarkan berani mengambil keputusan itu walaupun ini dicegah anak sulungnya yang menawarkan alternatif jalan keluar persoalan.

Pembaca yang santai…

Kini kita tiba membahas tentang peningkatan derajad konflik cerita. Ini ada hubungannya dengan realitas faktual dari hukum sosial tersendiri dalam mengatur pelaksanaan kontrol / kuasa dari individu tertentu terhadap anggota sesama kelompok sosialnya. Mari lihat dan sibak apa gerangan yang tersirat melalui ilustrasi berikut ini:

Dengan susah payah Diman keluar dari rumah. Kursi rodanya tersangkut pada kusen pintu. Ketika Darto hendak membantu dari belakang, tiba-tiba kursi roda itu terpental kembali ke belakang diikuti dengan hardikan.

“Kamu jangan coba-coba nyuri milikku ya!!!” Seorang laki-laki dengan wajah penuh bekas luka berkecak pinggang di depan pintu.

Ia adalah Roy Codet, gembong preman yang menguasai hampir seluruh preman dan pencopet yang beroperasi di bagian selatan kota. Seisi kampung mengenalinya karena seminggu sekali laki-laki berotot itu datang mengunjungi salah satu simpanannya yang tinggal di kampung itu. Kedatangannya ke kampung itu selalu didahului oleh suara knalpot motornya yang menggelegar menggetarkan kaca-kaca jendela rumah-rumah kampung yang berhimpitan itu.

Salah satu kakinya yang terbungkus sepatu boot kulit dengan kancing logam berderet-deret menekan bagian depan kursi roda Diman. Wajah Diman pucat pasi dan kepalanya tertunduk dalam-dalam.

“Kamu harus beli kapling di atas parit itu kalau mau jualan!” teriaknya di sela-sela kepulan asap rokoknya. Ia menyebut sejumlah angka. Kemudian sebelum pergi sekali lagi ditendangnya kursi roda Diman hingga laki-laki lumpuh itu nyaris terjungkal.

Baiklah kita menganalisa deskripsi yang mengandung konflik sosial yang bertendensi kekerasan sebagaimana yang dilukiskan pengarang di atas.

Tokoh antagonis dalam cerita, Roy Codet, merasa sebagai pihak yang berpengaruh dan memegang kendali atas dasar kekuatan yang dimiliki. Oleh karena itu, ia mendistribusikan pengaruhnya melalui pembuatan aturan sepihak yang menguntungkan dirinya (sewa atau pun jual-beli lapak berjualan─sistem perpajakan jalanan) tetapi membatasi hak individu lain di lingkungan sosial yang sama. Pengarang memang tak menjelaskan bagaimana antagonis mendapat informasi tentang keluarga protagonis yang ingin berjualan di lapak kosong. Tetapi, pembaca yang santai bisa memahami secara tersirat melalui penjelasan pengarang, yakni melalui berita burung yang mungkin tersebar dan diterangkan pula bahwa sebagai gembong copet, Roy Codet sendiri punya banyak anak buahnya termasuk di kampung tempat tokoh utama berdomisili.

Merasa peraturannya dilanggar, Roy Codet menafsirkan sebagai bentuk pembangkangan yang tak dapat ditolerir olehnya. Antagonis merasa perlu turun tangan langsung, memberi pelajaran keras terhadap keluarga protagonis. Ia pun akhirnya tak segan-segan menggunakan kekerasan khas premanismenya. Gejala sosial apa ini? Mengapa seseorang berhak atas objek (lahan) yang didapat berdasarkan penerapan aturan kekerasan ala hukum rimba? Demikianlah kondisi patologi sosial yang memang ada di realitas faktual. Di suatu masyarakat yang anggotanya membentuk norma-norma tersendiri dalam mengontrol individu lain berdasarkan kekuatan eksklusifitas kelompok (Roy Codet beserta para anggota kriminalnya), maka bentuk penindasan terhadap orang lain dalam berbagai manifestasinya pun terjadi. Pada bagian ini, pengarang mulai mengarahkan cerita merambat naik menuju puncak (rising conflict) melalui suspensi konflik sosial yang dilukiskan di bawah ini:

“Aku sudah lapor Pak RT. Katanya semua orang boleh naruh kios di atas parit. Yang penting ngisi kas seminggu sekali buat keamanan dan jangan mepet-mepet ke jalan. Gitu katanya.” Lastri tidak mau mendengarkan ketika Diman memberi kabar buruk tentang Roy Codet.

“Di sini yang punya kuasa Roy Codet, Lastri. Pak RT cuma ngurus administrasi kampung, nggak tahu aturan main di luaran. Nggak berani dan nggak bisa ngatur Roy Codet,” kata Diman. “Kita nggak punya uang buat beli kapling,” tambah Diman.

“Nggak! Nggak bisa!” Bantah Lastri. “Aku mau bilang Roy Codet kalau Pak RT sudah kasih ijin.”

Perempuan itu bukannya tidak pernah mendengar omongan orang tentang Roy Codet. Ia juga sering miris mendengar bagaimana kejamnya laki-laki itu kalau sampai ada orang yang mencoba menentang aturannya. Tapi ketika aturan itu menghalangi mimpinya yang sebentar lagi menjadi nyata, Lastri tidak mau menyerah begitu saja.

Ia ingin Darto bisa punya sepeda motor dan mengantarnya kemana saja dirinya dan anak perempuannya pergi. Darto juga bisa memboncengkan bapaknya jalan-jalan keliling kota. Sudah lebih tiga tahun suaminya tidak pernah keluar kampung karena tidak ada angkutan umum yang mau berhenti begitu melihat ada orang berkursi roda mencegat di pinggir jalan. Mau naik taksi sudah pasti tidak punya biaya karena mereka bukan orang kaya.


Pembaca yang santai..

Kalau mau jujur, kita mengakui bahwa ada dua jenis kewenangan yang berlaku dan mengendalikan suatu equilibrium sosial. Pertama, kewenangan yang didapat individu terpilih melalui jalur resmi. Kedua, kewenangan yang didapat individu ”licin” melalui jalur bebas hambatan yang penting bisa ngebut dengan kecepatan bertindak yang mampu mendahului kewenangan resmi. Kewenangan berkecepatan tinggi dengan daya libas massif khas Roy Codet ini memang ada di kenyataan sebenarnya. Ini sejenis pengaruh yang bertendensi menguasai orang lain dan lingkungan di sekitarnya dengan pola reaksi yang progresif, rentan penggunaan kekerasan di lapangan─premanisme. Akibat dari apa ini? Tentu hal ini sebagai hasil tidak berfungsinya kewibawaan wewenang resmi yang dipercayakan pada Pak RT─pemegang kontrol lingkungan yang resmi. Mengapa? Karena terlalu fokus dengan sistem birokrasi, hanya berkutat dengan administrasi dan data-data di atas kertas. Juga disebabkan oleh suatu kultur melayani masyarakat yang kurang responsif. Kita semua tahu dan dapat dengan jelas melihat gejala ini. Pengarang pun juga memahaminya, sebagaimana yang ia lukiskan melalui penjelasan naratif berikut:

“Aku sudah lapor Pak RT. Katanya semua orang boleh naruh kios di atas parit. Yang penting ngisi kas seminggu sekali buat keamanan dan jangan mepet-mepet ke jalan. Gitu katanya.” Lastri tidak mau mendengarkan ketika Diman memberi kabar buruk tentang Roy Codet.

“Di sini yang punya kuasa Roy Codet, Lastri. Pak RT cuma ngurus administrasi kampung, nggak tahu aturan main di luaran. Nggak berani dan nggak bisa ngatur Roy Codet,” kata Diman. “Kita nggak punya uang buat beli kapling,” tambah Diman.


Bagaimana implikasinya secara langsung terhadap individu tertentu di kelompok sosialnya bila yang berkuasa di lingkungan setempat adalah pengaruh yang berasal dari kekuatan semena-mena? Tentu saja benturan. Baik berupa pertentangan individu dengan sesamanya, mau pun pertentangan individu berhadapan langsung secara frontal dengan kekuasaan yang semena-mena tersebut. Benturan ini juga mengakibatkan kekecewaan individual yang membangkitkan tindakan langsung tanpa pertimbangan lagi. Sebab, seseorang merasakan kekangan ketika meraih hak individualnya dalam mewujudkan cita-citanya sebagai aktualisasi diri di lingkungan sosial. Ia pun merasa lebih baik melawan tekanan ini daripada cita-citanya pupus tanpa upaya sama sekali karena menyerah kalah. Demikianlah yang diilustrasikan pengarang untuk membicarakan betapa sakitnya, betapa kecewanya Lastri bila angan-angan indahnya terhalang oleh Roy Codet dengan kesewenang-wenangannya. Maka, Lastri bertindak nekad sebagai kompensasi psikologis atas kekecewaan yang teramat getir dirasakan, sekalipun ia menyadari resiko yang bakal dihadapinya. Biarpun ia tahu dan pernah mendengar bahwa tangan besi Roy Codet tak sungkan-sungkan akan melibas dirinya dengan perlawanan yang ditujukan langsung pada gembong copet itu. Lastri muntab dengan emosi yang mengkelami benak dan akal-sehatnya.

Lastri tak mau mimpinya buyar karena lelaki bernama Roy Codet. Ia berlari keluar rumah dengan wajah marah. Diman khawatir sekali. Darto disuruhnya menyusul emaknya.

Di antara suara radio, televisi, dan tangisan bayi yang berasal dari puluhan rumah yang saling berhimpit itu Darto mendengar emaknya dan Roy Codet adu mulut di depan rumah gundik Roy Codet yang terletak dekat sungai.

Dibantu beberapa tetangganya dengan takut-takut Darto mencoba menghentikan Lastri. Namun perempuan itu seperti sudah kehilangan akal sehatnya. Suaranya lantang menantang.


Pembaca yang santai..

Pada bagian klimaks cerita kita menyaksikan betapa mirisnya nasib sang tokoh utama, berikut ini ilustrasinya:

Saking marahnya, tiba-tiba tangan berotot Roy Codet terangkat dan mendarat di pipi Lastri. Perempuan itu terpental ke belakang dan mengaduh panjang. Darto mencoba melindungi emaknya.

Roy Codet mendekat dan menarik paksa tubuh Darto yang telungkup di atas tubuh emaknya. Dengan sekuat tenaga Roy Codet melempar tubuh kurus itu ke samping. Terdengar suara benturan keras. Kepala Darto menghantam batu besar yang biasa dipakai duduk-duduk anak-anak kecil sehabis bermain-main di sungai.

Suasana berubah senyap. Tubuh Darto tergeletak tidak bergerak. Lastri merangkak mendekati tubuh Darto. Dilihatnya darah segar mengalir dari bawah kepala anaknya dan pelan-pelan merembes ke tanah. Lastri melolong panjang dan pilu, gemanya terbawa aliran sungai hingga ke ujung kampung.


Pengarang menarik perhatian kita dengan melukiskan resiko yang diterima Lastri dengan tindakan impulsifnya yang dipengaruhi emosi dan ketakutan kehilangan impian muluknya. Protagonis tidak saja mengalami kekerasan secara langsung dari tindakan ala premanisme, tetapi ia juga mesti nelangsa kehilangan anak sulungnya yang tewas mengenaskan di tempat kejadian yang disaksikan dengan mata kepalanya sendiri.

Selain daripada gambaran konsekuensi yang diterima tokoh utama, kita juga dapat melihat secara tersirat ada gambaran tumpulnya hukum melalui tindakan anti-sosial yang dilakonkan antagonis. Betapa merajalelanya gejala premanisme ketika pudarnya pengaruh hukum positif melalui kewenangan resmi di masyarakat. Betapa ketidakadilan sosial akan menjadi momok menakutkan bagi kaum yang lemah, karena setiap waktu menjadi objek penindasan tangan-tangan besi yang ringan menggunakan kekerasan. Di sini pengarang memaparkan secara apa adanya tentang premanisme dan pungutan liar menggejala sebagai salah satu patologis sosial akibat hukum yang tidak tegas memberantasnya.

Cerpen realistik ini akhirnya ditutup dengan resolusi yang menyajikan sebuah ironi dramatis.

Wajah Lastri membeku. Pipinya lebam biru. Dengan sorot penuh duka matanya tak berkedip memandangi lubang satu kali dua meter, sedalam sekitar dua meter, yang tengah ditimbun tanah oleh para tetangganya yang mengubur jenazah Darto.

Perlambangan dari judul cerita ”Satu Kali Dua Meter” dikutip kembali oleh pengarang dengan tujuan menyampaikan pesan-pesan berikut:

1. Terkadang kenyataan itu dirasakan seseorang lebih pahit bila dibandingkan dengan impian yang selama ini membuai benak dan menidurkan jiwanya. Tapi, itulah adanya hidup. Hidup sungguh bukan dimaksudkan untuk mengejar mimpi yang tak terbeli dengan harganya yang tersangkut di lengkung langit.

2. Suatu angan yang tak didukung oleh kemampuan diri, maka lebih baik dilupakan. Sebab, bila dikejar tentu sama halnya ketika seseorang yang haus mengejar oase di tengah pada padang pasir.

3. Yang terpenting selama seseorang hidup adalah proses mengada di dunianya bukan tujuan akhir dari menegaskan eksistensi  bayangan semu dirinya.

4. Berjuanglah demi memanusiawikan diri. Soal tercapai atau tidaknya suatu cita-cita bukan menjadi faktor penentu bahwa seseorang berhasil menjadi manusia sesungguhnya.

5. Manusia memang bisa menjadi serigala bagi manusia yang lain ketika hawa nafsu menguasai dirinya.

──────────────
(*) unduh file PDF

Share: