Minggu, 01 April 2012

 

Minyak

Minyak

Oleh : Putu Setia



Minyak mudah terbakar dan bisa untuk membakar. Minyak juga licin, orang bisa tergelincir jika tak hati-hati berjalan di atasnya. Baru membahas harga minyak saja, emosi para elite partai dan masyarakat, khususnya mahasiswa dan buruh, sudah terbakar.

Kita disuguhi aksi demo yang begitu memprihatinkan. Aksi di berbagai daerah dengan kekerasan yang meningkat. Sementara dulu hanya memblokade jalan, membakar ban bekas, merusak fasilitas umum, dan meruntuhkan pagar, sekarang memblokade pelabuhan dan bandar udara, bahkan jalur kereta api. Semangat yang berapi-api membela kepentingan rakyat.

Presenter televisi pun bersemangat mengabarkan aksi kerusuhan itu tanpa ada intonasi suara yang miris dan prihatin, seolah-seolah bentrokan antara polisi dan mahasiswa menjadi vitamin buat mereka untuk bergairah dalam bekerja. Kemajuan luarbiasa bagi dunia pertelevisian dalam mendidik dan mencerdaskan bangsa lewat tontonan ─ kalau memang Anda belum bosan.

Para wakil rakyat berebut bicara dalam sidang paripurna ketika menentukan apakah harga minyak harus segera naik atau ditunda atau tidak naik sama sekali. Interupsi saling menyambung, hal-hal kecil pun diinterupsi. Istri saya berbisik: apakah mereka itu tak punya anak di rumah, bagaimana kalau anaknya menonton kelakuan bapaknya dalam sidang paripurna itu? Saya jawab: mungkin anaknya tak menonton karena kuliah di luar negeri, mereka orang-orang kaya tapi tak sanggup membayar harga Premium dengan harga pasar.

Minyak membakar bukan hanya benda yang tampak, tapi juga membakar hati, pikiran, dan ego orang-orang. Semuanya dalam bingkai membela rakyat kecil.

Ada partai politik yang tergelincir akibat minyak. Setelah terpeleset, tampaklah secara telanjang bagaimana wujud partai itu sebenarnya. Partai Keadilan Sejahtera, partai dakwah yang bersih suci itu, menerapkan jurus berteman di kala suka, berseberangan di kala tak suka. Partai ini anggota koalisi untuk mendapatkan kursi, tapi menjadi oposisi untuk pencitraan membela rakyat. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan lebih dahsyat lagi, dengan kader yang cerdas dan pandai beragumentasi, tiba-tiba mengambil alih peran Partai Rakyat Demokratik di masa lalu. Instruksi agar kader PDIP turun ke jalan langsung datang dari pimpinan pusatnya.

Saking bersemangatnya kader PDIP menjalani instruksi untuk menjadi partai jalanan, Wakil Wali Kota Solo dan Wakil Wali Kota Surabaya (cukup dua contoh saja) larut dalam aksi demo menentang kenaikan harga minyak. Padahal baru rencana, masih dibahas.

Sebagai pejabat publik, ada sumpah jabatan yang mereka ucapkan, antara lain, berlaku adil mengayomi warga di wilayahnya. Tidak ada wali kota yang hanya mengurus warga dari partai tertentu. Kalau ada musibah, wali kota tidak etis bertanya: kamu dari partai mana, kalau bukan dari partaiku, tak ada bantuan. Kalau seseorang belum siap menjadi orang netral dan masih terbelenggu oleh sekat-sekat partai, juga sekat-sekat lain seperti suku, etnis, dan agama, janganlah melamar menjadi pejabat publik.

Barangkali banyak orang tak bisa netral dan masih memiliki monoloyalitas kepada partai ─ bukan kepada negara. Kalau begitu, hikmah yang diambil dari kasus ini, buat larangan bagi pejabat publik ─ presiden, menteri, gubernur, dan bupati/walikota ─ merangkap jabatan di partai. Bagi Indonesia yang politiknya tetap keruh, idealnya pejabat publik itu orang nonpartai, seperti kawan lawas saya, Dahlan Iskan. Ia bebas bergerak, tidur di rumah petani pun tak ada yang menuduhnya berkampanye.


Sumber :  

1. Artikel ini dari Koran Tempo ─ Cari Angin, Minggu, 1 April 2012
2. Ilustrasi dari SINI
Share: