Rabu, 04 April 2012

 

Seekor Unta pada Hari Jumat

Seekor Unta pada Hari Jumat

Oleh MASHDAR ZAINAL


PERKARA mengapa Mahisa selalu tertidur ketika mendengarkan khutbah di hari Jumat, semua bermula dari sebuah cerita di masa kecil. Cerita dari Wak Jamal. Cerita tentang seekor unta, di hari Jumat. Mahisa ingat betul, bagaimana Wak Jamal bercerita tentang keistimewaan unta dan hari Jumat, di surau redup di sudut kampungnya.

Wak Jamal memang guru ngaji yang sangat pandai, khususnya dalam hal bercerita. Kata Wak Jamal sendiri, semua cerita yang ia ceritakan bukanlah busa mulut semata, semuanya ia kutip dari kitab kuning dengan huruf arab tanpa harakat yang ia pelajari di pesantren, semasa ia remaja.

Terlampau lekatnya cerita itu, Mahisa sampai terkenang-kenang akan logat mendongeng Wak Jamal (yang memiring-miringkan leher ke kanan sambil berkedip-kedip). Kalaupun disuruh mempraktikkan cara Wak Jamal bercerita, Mahisa sangat yakin bisa melakukannya dengan sempurna. Apalagi menceritakan kembali cerita tentang unta. Seekor unta di hari Jumat.

***

BEGINILAH Wak Jamal memulai ceritanya, tentang seekor unta di hari Jumat. Sebelum ke inti cerita, Wak Jamal memancing anak ngajinya dengan pertanyaan-pertanyaan runtun serupa pantun.

“Nah, Nak, tahukah kau, bahwa di antara tujuh hari yang ada terdapat satu hari yang sangat istimewa, seistimewa lebaran yang hanya setahun sekali itu. Dan hari itu adalah hari Jumat. Perihal mengapa, karena Tuhan mengampuni banyak dosa dari hamba-Nya yang mau beramal baik pada hari itu. Pada hari itu pula Tuhan meciptakan manusia pertama, memasukkannya dalam surga dan kemudian mengeluarkannya.

“Masih banyak lagi sebenarnya keistimewaan hari Jumat yang tak cukup saya paparkan satu persatu.

“Nah, Nak, selepas membicarakan hari yang paling istimewa, sekarang kita akan main tebak-tebakan mengenai binatang yang paling istimewa.

“Nah, Nak, tahukah kau binatang apa yang sanggup bertahan hidup berhari-hari tanpa makan dan minum.

“Tahukah kau tentang seekor mamalia yang memiliki bulu mata sangat sempurna, yang memiliki bibir bangir tapi tak nyinyir, yang memiliki dengkul sekeras batang cangkul.

“Oh, tentu saja kalian belum tahu, mendengarnya mungkin, tapi tahu, pasti belum.”

Kemudian Wak Jamal akan tersenyum simpul (sambil memiring-miringkan kepalanya ke kanan) dan mulai memaparkan keistimewaan sang unta serupa pujian. Wak Jamal tampak bersemangat sekali menjelentrehkan kelebihan-kelebihan binatang itu, seolah ia tengah terlibat asmara dengan binatang itu.

“Nah, Nak, jikalau ada binatang yang sanggup bertahan hidup hingga delapan hari pada suhu lima puluh derajat tanpa makan atau minum, untalah beliaunya (sangking terpesonanya pada unta ia menggunakan kata ‘beliau’).

“Jikalau ada binatang yang lentik bulu matanya melebihi Cleopatra, dan memiliki dua lapisan yang saling berkait seperti perangkap yang melindungi dari badai pasir sehingga butir pasir tak mungkin mampir, binatang istimewa itu adalah si unta.

“Jikalau ada binatang yang memiliki bibir yang sangat kuat dan mirip karet, yang memungkinkan mengunyah kaktus ataupun duri yang cukup tajam, unta pulalah binatang satu-satunya.

“Jikalau ada binatang yang lututnya tertutup kepalan yang terbentuk dari kulit sekeras tanduk, sehingga hewan ini betah berlutut di pasir yang panas tanpa khawatir melepuh, si untalah binatangnya.”

Setelah tunai menyampaikan mukadimahnya, Wak Jamal memulai cerita yang sesungguhnya. Cerita tentang seekor unta di hari Jumat. Dari sebuah kitab yang pernah ia kaji, Wak Jamal mengisahkan. Bahwa Tuhan punya alasan mengapa Ia memilih unta sebagai binatang utama, untuk dianugerahkan kepada hamba-Nya yang datang paling pertama di hari Jumat, pada shalat Jumat. Jadi, setiap hari Jumat, beberapa manusia akan berternak unta, dan kemudian memanen hasilnya di surga kelak.

“Mengapa unta? Mengapa bukan macan atau singa? Atau gajah yang besar?” Hatta, Wak Jamal bertanya sendiri, dan kemudian pula menjawabnya sendiri, “karena unta adalah binatang paling mahal di antara yang mahal, binatang paling istimewa di antara yang istimewa. Seolah-olah, Tuhan menciptakan unta dengan istimewa karena memang diperuntukkan khusus untuk orang-orang yang istimewa.

“Tuhan memang Maha Pemurah. Terlampau pemurahnya Ia, setelah memberikan unta, Ia akan memberikan lembu untuk yang datang setelah unta, ia juga masih menyimpan kambing untuk yang datang berikutnya, setelah lembu. Setelah kambing pun, Ia masih bermurah hati memberikan ayam untuk yang datang setelah kambing. Di bawah ayam pun, ia masih menyisakan telur untuk yang datang berikutnya….

“Jadi, urutannya yang pertama unta, kemudian lembu, kemudian kambing, kemudian ayam, dan yang paling buntut telur ayam. Dan setelah telur, tidak disebutkan lagi. Jadi, kesimpulannya, kalian sendiri yang akan memutuskan, memilih mana, unta, lembu, kambing, ayam, telur ayam, atau mungkin yang keluar dari tempatnya telur ayam tapi bukan telur ayam….”

Wak Jamal memang selalu seperti itu, menyuruh anak ngajinya untuk beramal shalih dengan sindiran-sindiran yang cukup sulit dipahami anak kecil.

***

SEMENJAK mendengar cerita itu, Mahisa benar-benar ketularan Wak Jamal, terobsesi dengan binatang bernama unta. Mahisa tak pernah melihat unta secara langsung, tapi dari cara Wak Jamal bercerita, unta memang binatang yang luar biasa. Kini Mahisa tahu, mengapa Wak Jamal sudi bersusah-susah membersihkan surau pada Jumat pagi dan kemudian menjadi bilal dan muadzin pada Jumat siang. Ya, tak lain dan tak bukan, pasti karena binatang istimewa itu. Dalam kepalanya, Mahisa membayangkan, Wak Jamal sudah menernakkan unta yang jumlahnya ratusan, bahkan mungkin sudah beranak pinak. Mengingat rambut Wak Jamal yang kian rata ditunasi uban, Mahisa mulai berpikir, bahwa kini, tiba saatnya ia mewarisi peternakkan unta Wak Jamal, guru ngajinya.

“Wak, untuk mendapatkan unta, apakah seseorang mesti membersihkan surau dan menjadi muazin pada shalat Jumat?” Suatu ketika Mahisa bertanya.

“Tidak, tidak harus, yang penting kau datang paling awal. Lalu duduklah dengan tenang di shaf paling depan, di belakang khatib, sambil berzikir, itu saja….”

Mudah sekali, pikir Mahisa. Berarti, Wak Jamal capek-capek membersihkan surau dan menjadi muazin bukan karena unta, tapi karena sesuatu yang lain, sesuatu yang tampaknya lebih besar dan lebih istimewa dari pada unta. Tapi, apakah itu? Mengapa Wak Jamal tidak menceritakannya. Atau jangan-jangan, sesuatu yang mungkin lebih besar daripada unta itu adalah sebuah rahasia yang ia simpan sendiri. Supaya ia bisa memilikinya sendiri.

Mahisa menepiskan pikiran itu jauh-jauh. Wak Jamal pernah mewanti-wanti, berburuk sangka bukanlah alamat bagus. Sudahlah, yang penting, mulai pekan depan, Mahisa bertekad hendak berangkat pagi-pagi ke surau pada hari Jumat. Selepas pulang dari sekolah, ia akan bersegera mandi dan berangkat. Kalau perlu ia akan menyelidiki terlebih dahulu, jam berapa biasanya Wak Jamal datang, supaya ia bisa mendapatkan unta dan Wak Jamal mendapatkan lembu.

Pada Jumat pertama, Mahisa kalah cepat dari Wak Jamal. Ketika sampai di surau, Mahisa telah mendapati Wak Jamal tengah membaca mushaf di saf paling depan. Wak Jamal tersenyum penuh kemenangan, aku dapat unta dan kau dapat lembu, begitu arti senyumnya. Dalam hati, Mahisa berjanji, Jumat pekan depan, ia akan datang lebih awal lagi. Jumat itu, Mahisa rela menerima nasib jika ia harus mendapatkan lembu. Lembu tidak terlalu buruk, buktinya, untuk berangkat haji dua tahun silam, bapak dan emak cukup menjual tiga lembu piaraannya. Artinya, lembu adalah binatang istimewa kedua setelah unta.

***

PADA Jumat berikutnya, Mahisa tersenyum bangga ketika sampai di surau, ia tak mendapati siapa pun. Serta merta ia duduk di saf paling depan, tepat posisi belakang imam. Beberapa menit berikutnya, Wak Jamal datang dengan senyum sumeringah. Wak Jamal menepuk pundaknya, “Wah, luar biasa,” serunya. Mahisa terduduk tegap. Bersenyum penuh kemenangan. Saksama ia memerhatikan Wak jamal yang mulai menyalakan speaker, mengecek micropon, dan menggelar sajadah untuk imam.

Satu persatu Mahisa melirik setiap orang yang datang. Aku dapat unta, batinnya. Wak Jamal dapat lembu. Bang Ajrul dapat kambing. Ki Hanan dapat ayam. Wak Sayid dapat telur ayam. Mas Toha dapat entah…. Sambil terus menghitung setiap jamaah yang datang sesuai dengan urutannya, tiba-tiba kepala Mahisa terasa sangat berat. Matanya juga sangat berat. Bahkan, ketika Wak Jamal mengumandangkan azan dan khatib mulai naik ke mimbar, Mahisa masih berjibaku dengan matanya yang berat. Mahisa terantuk dan hampir ambruk ketika Wak Jamal menepuk pundaknya selepas iqomah, menyadarkannya dari kantuk.

Celaka, ada yang tertidur ketika khatib menyampaikan khotbah.

***

PADA Jumat-Jumat berikutnya, Mahisa rutin datang paling awal. Ia duduk di saf paling depan, belakang khatib. Namun, selalu saja, Mahisa tak kuasa menahan kantuk ketika khatib mulai naik ke mimbar. Kejadian itu berlangsung terus menerus, selama bertahun-tahun, sampai sekarang. Ketika ia mengikuti shalat Jumat dan khatib mulai naik ke mimbar, seolah ada hal gaib yang menyirepnya, membuatnya terkantuk-kantuk hingga tertidur.

Cerita itu sudah berlalu puluhan tahun silam. Wak Jamal pun sudah lama sekali almarhum. Surau kecil tempat ia mengaji dulu, kini sudah diperlebar dan dibangun masjid. Sudah bertahun-tahun Mahisa merantau ke luar kota, meninggalkan kampung halaman. Tapi tetap saja, di mana pun ia mengikuti shalat Jumat, ketika khatib mulai menyampaikan khotbahnya, kepalanya pun mulai tertunduk, terkantuk-kantuk.

Satu hal pula yang masih lekat dalam ingatannya dari cerita Wak Jamal. Bahwasannya, mendapatkan unta di hari Jumat bukanlah perkara mudah. Karena, selepas shalat Jumat, akan selalu ada orang-orang (yang datang paling awal) yang kemudian mengutuki dirinya sendiri, menyesalkan unta mereka yang selalu lepas ketika mereka tertidur mendengarkan khotbah. (*)

Malang, 2012


Tentang Pengarang : Mashdar Zainal, lahir di Madiun 5 Juni 1984. Kini tinggal di Malang, Jatim.

(*) Dimuat di Koran Suara Merdeka, 22 Juli 2012
Share: