Kamis, 08 Maret 2012

 

Cerpen Anton Chekhov : Orator Ulung

Orator Ulung

Oleh : Anton Chekhov



PADA suatu pagi nan indah mereka menguburkan Juru Taksir Pajak, Kiril Ivanovich Babylonov. Ia meninggal oleh dua keluhan yang sering ditemukan di tanah air kita, istri yang cerewet dan alkoholisme. Tatkala iring-iringan upacara penguburan bergerak perlahan ke luar dari gereja menuju pekuburan, salah satu dari kolega almarhum, si Poplavsky, ke luar dari kereta dan menghambur mendatangi rumah temannya, Grigory Petrovich Vodkin. Vodkin masih muda, tapi namanya sudah terkenal. Seperti para pembaca akan ketahui nantinya, ia menyandang bakat yang langka dalam hal menyusun pidato tanpa persiapan lebih dulu untuk pernikahan, hari ulang tahun, dan ritus pemakaman. Ia dapat berpidato dalam segala kondisi, setengah tidur, dalam keadaan perut kosong, mabuk seperti seorang pangeran, atau dalam keadaan demam tinggi. Kata-kata meluncur dari mulutnya laksana air keluar dari pipa, berbuncah-buncah, kumbang-kumbang hitam di dalam rumah minum tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan kata-katanya yang memabukkan dalam aliran perbendaharaan kata-katanya. Ia bicara begitu pintar begitu panjang bertele-tele, sehingga kadang, terutama pada upacara pernikahan seorang keluarga saudagar, satu-satunya jalan untuk menyetopnya ialah dengan mengundang polisi.

“Aku datang untuk minta bantuanmu, Sobat,” Poplavsky mengawali, begitu ia bertemu di rumah. “Pakailah mantelmu cepat dan mari kita langsung pergi. Salah seorang warga kami meninggal, kami baru saja mengetahuinya bahwa ia telah pergi ke dunia lain, dan seseorang harus memberikan pidato perpisahan terakhir yang mendayu-dayu… Kami mempercayakannya kepadamu, sobat karib. Kami selama ini tidak pernah merepotkanmu jika yang meninggal itu anak-anak, tapi kali ini adalah sekretaris kami – soko guru departemen, begitulah kau mungkin akan mengatakannya. Kami tidak bisa mengubur orang penting ini tanpa pidato.”

“Sekretarismu?” Vodkin menguap. “Orang yang selalu mabuk itu?”

“Ya, dia. Di sana akan disediakan hidangan kue dan santapan istimewa… Ongkos kereta untuk kita. Ayolah, sobat! Beri kami sekedar kata-kata yang menghibur ala Cicero pada upacara pemakaman itu, dan kami sangat berterima kasih sekali atas itu!”

Vodkin dengan senang hati menyetujuinya. Ia pun mengusutkan rambutnya, memasang muka melankolik dan berangkat bersama Poplavsky.

“Aku ingat sekretarismu itu,” ujarnya, begitu ia duduk di dalam kereta. “Kau memang seharusnya menemukan seorang tukang tipu dan tukang kecoh yang lebih besar, semoga Tuhan memberi tempat istirahat yang layak bagi arwahnya.”

“Jangan begitu dong, sobat, kan orang tidak boleh bicara jelek tentang orang yang sudah meninggal.”

“Tentu saja tidak – aut mortuis nihil bene ─ tapi orang itu memang bajingan.”

Dua orang bersahabat itu pun bergegas pergi dan menggabungkan diri dengan iring-iringan penguburan itu kembali. Orang yang mati itu dibawa dalam satu iringan karnaval yang berjalan lambat sehingga sebelum mencapai lokasi pemakaman mereka punya cukup waktu untuk menyelinap memasuki beberapa kedai minum dan sebentar membicarakan aib orang di belakang mereka sekedar untuk memuaskan hati Babylonov.

Di pemakaman diselenggarakan upacara pendek untuk panitia. Ibu mertua, istri, dan ipar perempuan, mengikuti adat kebiasaan yang berlaku, menangis sambil meratap. Tatkala jenazah diturunkan ke liang lahat, sang istri malahan menjerit! Minggir – biarkan aku ikut mati bersamanya —tetapi tak jadi, mungkin karena masih ingat pensiunnya. Vodkin menunggu sampai semuanya menjadi tenang, ia lalu maju ke depan, mencari tempat yang mudah dilihat para pelayat. Dan mulai.

“Yakinlah kita semua bahwa mata dan telinga kita tidak memperdayakan kita? Pemakaman ini, wajah-wajah yang bersimbah air mata ini, duka nestapa dan ratap tangis ini, adakah ini bukan merupakan mimpi yang mengerikan? Wahai, ini bukan mimpi, penglihatan kita pun tidak memperdayakan kita! Ia yang baru saja kemarin begitu ceria, begitu segar, muda remaja dan begitu murni, yang baru kemarin, seperti seekor lebah yang tidak kenal capai terus mendengung, di depan mata kita mempersembahkan madunya kepada tanah airnya bagi kebahagiaan bersama, ia yang –sekarang telah kembali ke debu, menjadi sebuah ketiadaan. Maut tak kenal damai telah meletakkan tangannya yang meremukkan atas dirinya pada suatu ketika, dan pada seluruh tahun-tahun pengabdiannya yang subur, ia tetap pada puncak kekuatan dan penuh harapan yang cemerlang. Oh, kehilangan yang tak bisa ditemukan lagi! Siapa gerangan yang dapat menggantikan dia? Kita tak memiliki seorang pengabdi masyarakat yang jarang tolok ukur bandingannya ini dalam hal kebaikannya, selain Prokofy Osipych seorang. Ia telah mengabdikan jiwa raganya untuk menjalankan tugasnya yang mulia, tanpa sedikit pun pernah menyisakan bagi dirinya sendiri. Demikian banyak malam-malam tanpa tidur telah ia manfaatkan untuk bekerja, Ia memanglah seorang seorang yang tidak egois atau cuma memikirkan dirinya sendiri, dan bukan pula seorang yang bermental korup… Betapa ia telah memandang rendah kepada mereka yang menggodanya dengan suap supaya merusak kebaikan umum, yang tega mengumpannya dengan sekedar keenakan hidup supaya mau mengkhianati tugas yang dipikul kepadanya! Wahai, dengan mata kepala kita sendiri telah menyaksikan betapa Profoky Osipych membagikan penghasilannya yang tak seberapa itu kepada kaum fakir miskin sesamanya, dan kalian sendiri baru saja mendengar betapa tangis duka para janda dan para yatim piatu yang hidupnya tergantung pada kemurahan hatinya. Demi pengabdiannya yang tuntas kepada tugasnya maupun pekerjaan baiknya, ia telah menjadi asing terhadap kehidupan yang senang gembira dan bahkan memalingkan dirinya sendiri dan fasilitas pribadi. Seperti anda sekalian ketahui, ia tetap tinggal membujang sampai dengan hari hayatnya yang terakhir! Dan siapa akan menggantikan tempatnya sebagai seorang rekan? Betapa jelas kini saya melihat di depanku wajah yang lembut tercukur bersih, meninggalkan kita pergi dengan senyuman manis, betapa jelas saya mendengar suaranya yang lembut penuh cinta dan persahabatan itu! Istirahatlah dengan damai, Profoky Osipych! Tidurlah dengan tenang – kau pengabdi yang jujur dan setia!”

Sementara Vodkin meneruskan pidatonya, para pelayat saling berbisik-bisik satu sama lain. Setiap orang menyukai pidato itu, apalagi dibumbui dengan linangan air mata, akan tetapi di dalamnya terdapat keganjilan. Pertama, tak seorang pun mengerti mengapa sang orator itu menyebut nama almarhum itu Profoky Osipych, bukannya Kiril Ivanovich. Kedua, setiap orang tahu bahwa almarhum telah menggunakan waktu hidupnya untuk hidup penuh cekcok dengan istri yang dinikahinya, maka tidak bisa dibilang seorang bujangan. Ketiga, muka almarhum justru dilebati bulu-bulu liar, cambang, janggut, kumis segala dan sama sekali tidak pernah kenal pisau cukur, maka sesungguhnya misterius, mengapa sang orator tega melukiskannya sebagai bermuka bersih bercukur. Karena bingung dan malu, para hadirin pun saling bertukar pandangan dan mengangkat bahu.

“Profoky Osipych!” lanjut sang orator, seraya memandang ke arah gundukan tanah kuburan itu dengan penuh perhatian. “Wajahmu begitu bersih –jadi kenapa musti saya katakan buruk?—kau begitu keras dan tegar, namun kita semua tahu bahwa dibalik penampilan lahiriyah itu berdetaklah jantung hati semurni emas!”

Perlahan-lahan para hadirin mulai mengetahui adanya sesuatu yang aneh pada diri sang orator itu. Matanya terpaku pada satu titik, ia bergoyang-goyangh gugup dan mulai mengangkat bahunya pula. Sekonyong-konyong ia menjadi pucat pasi, mulutnya menganga keheranan, dan ia menoleh ke arah Poplavsky.

“Tapi ia masih hidup!” desisnya, seraya memandang penuh ketakutan.

“Siapa?”

“Profoky Osipych! Ia berdiri di sana di dekat nisan!”

“Bukan dia yang mati, tapi Kiril Ivanovich!”

“Tapi kau sendiri yang bilang sekretarismu yang mati!”

“Kiril Ivanovich pernah menjadi sekretaris kami – kau mencampur-adukkannya, badut konyol kau! Profoky Osipych memang sekretaris kami sebelumnya, itu betul, tapi ia telah dialihtugaskan dua tahun yang lalu ke seksi kedua sebagai juru tulis kepala.”

“Ah, astaga!”

“Kenapa kau tidak meneruskan? Ini mulai membingungkan!”

Vodkin kembali ke gundukan makam itu dan menyingkat pidatonya dengan segala kelihaian bicaranya. Profoky Osipych, seorang pegawai sipil yang lebih tua dengan muka bersih bercukur, memang benar-benar sedang berdiri di dekat batu nisan, seraya memandang marah kepada sang orator dan mukanya cemberut.

“Terpaku terperangahlah kau di sana!” para pegawai sipil itu tertawa sekembalinya mereka dari pemakaman bersama Vodkin. “Bayangkan mengubur seseorang, padahal ia masih hidup.”

“Satu pertunjukan yang menyedihkan, anak muda!” Profoky Osipych menggeram. “Pidato macam begitu mungkin saja dibenarkan kalau saja seseorang memang meninggal, tapi kalau orangnya masih hidup – itu cuma membangkitkan kelucuan, Tuan! Demi Tuhan, kenapa kau sampai berbuat hal sekonyol itu? Tidak egois, tidak korup, tidak makan suap! Untuk mengatakan semacam itu atas diri orang yang masih hidup, kau tentunya bergurau, Tuan. Dan siapa yang meminta kepadamu, orang muda, mempercakapkan mukaku? Licin, bersih, buruk, memang mungkin saja, tetapi kenapa kau menarik perhatian orang dengan omongan yang bukan-bukan semacam itu? Tidak Tuan, saya adalah seorang pendosa!”
Share: