Sabtu, 18 Februari 2012

 

Cerpen Indra Tranggono : Ode buat Babi Hutan



SEEKOR babi hutan membeku dalam padat tembikar. Matanya merah, menatap nanar. Menatapmu. Menatap siapa saja yang melintas dalam manik matanya. Taring-taringnya putih agak abu-abu, kusam dengan noktah-noktah darah. Tubuhnya agak tambun, lebat ditumbuhi bulu-bulu kasar. Pada tubuh yang mirip punggung bukit kecil itu, menganga lubang 3X Ω sentimeter, tempat kamu memasukkan uang keras atau koin uang.

Uangmu kini tertimbun di perut babi hutan itu. Mungkin babi hutan itu merasa mual dan mau muntah. Namun kamu tak peduli. Terus menjejali perutnya dengan lipatan-lipatan uang-uang kertas atau koin-koin uang.

Sesungguhnya, kamu sendiri agak takut memandang celenganmu itu. Wajah celeng itu terlalu seram. Mungkin, pembuatnya sengaja berniat menakuti kamu dengan mengusik naluri kanak-kanakmu. Siapa tahu, pikir si pembuat celengan itu, dengan cara itu hidupmu tidak terasa hampa, datar dan kaku. Atau, mungkin juga dia punya tujuan lain. Misalnya, sengaja membuat celengan babi hutan itu tampil sangar dan berwibawa, hingga kamu merasa berharga setiap memasukkan uang demi uang. Juga, kamu tidak gampang goyah untuk mengambil uang tabunganmu dengan cara mencukilnya dengan peniti atau bahkan memecahkannya. Ah, cara itu mungkin dulu pernah kamu lakukan ketika masih bocah. Kau curi uang tabungan adikmu atau kakakmu hanya karena kamu tergoda untuk menyesap es lilin yang menari-nari dalam benakmu.

Senyummu selalu mengembang setiap mengenang kenakalanmu; kenakalan yang kamu tebus dengan menjalani hukuman dari ayah atau ibumu. Mengosek WC, menyapu halaman rumah atau merelakan jatah uang sakumu lenyap. Waktu itu, mungkin kamu menganggam hukuman itu terlalu keras buatmu. Kamu pun menangis berjam-jam, hingga lelah dan tertidur. Namun, kini kamu merasakan hukuman itu sangat penting dan indah. Setidaknya, membuat kamu tak pernah berpikir atau bercita-cita menjadi pencuri….

***


KAMARMU kini menjelma jadi kandang celengan. Ratusan patung babi hutan memenuhi ruangan itu. Ada yang ukurannya kecil, seperti kepala bayi. Ada yang sedang, seukuran monitor komputer dan seukuran galon. Ada pula yang besar, seukuran tong minyak tanah. Kamu pun mewarnai celengan-celengan itu: putih, hijau, ungu, biru, abu-abu, merah, jingga, hitam, kuning. Dengan warna-warni mencolok itu, kamu bisa merasakan pesta cahaya di kamarmu.

Kamu pun sering mengelompokkan celengan-celengan itu berdasarkan warna. Rombongan celengan jingga berhadapan dengan rombongan celengan abu-abu. Kawanan celengan hitam berhadapan dengan kawanan celengan merah. Atau kawanan celengan biru dikepung kawanan celengan kuning, hijau, biru muda dan putih. Dalam posisi merunduk, mereka siap saling menyeruduk.

Di bagian ruangan lain, kamu menyusun barisan celengan-celengan kecil dengan aneka warna. Seolah anak-anak celengan itu sedang berbaris di cakrawala, sambil menyaksikan celengan-celengan senior siap saling seruduk dan serang.

Pemandangan itu menjelma kesenangan kecil bagimu. Hati kanak-kanakmu tergelitik. Tawamu pun membahana, hingga mengagetkan ratusan celengan itu.

Celengan-celengan itu telah menjadi sahabatmu. Kamu hafal betul nama-nama mereka. Kamu pun menyapanya dengan Karmil, Gopal, Sronggot, Dumin, Timplung, Momblet, Dargombes, Srengat, Jiweng, dan nama-nama lainnya.

Kamu sendiri merasa heran, bisa menghapal ratusan nama itu. Padahal, kamu tidak pernah mencatatnya dalam notes. Kamu juga ingat kapan celengan-celengan itu kamu beli. Ingat pula peristiwa yang menyertainya. Misalnya, si Karmil itu kamu beli saat isterimu hamil. Atau si Gopal kamu beli saat kamu naik jabatan dari staf menjadi direktur perusahaan percetakan. Kamu pun selalu memperingati ulang tahun celengan-celengan itu berdasarkan tanggal pembelian.

Anehnya, kamu justru sering lupa dengan nama-nama saudara-saudaramu atau kawan-kawan karibmu. Lupa pula hari ulang tahun mereka.

Bahkan kamu sering pula lupa hari ulang tahun isterimu.

“Celengan-celengan itu semakin membuat rumah kita sumpek dan gerah,” ucap isterimu suatu ketika dengan wajah murung.

“O ya? Tapi, tak apa-apa, Diajeng. Mereka telah menghibur kita….”

“Menghibur?”

“Diajeng, kamu hanya belum terbiasa saja. Pasti lama-lama kamu juga suka.”

“Mas kita telah memelihara mereka belasan tahun. Saya bosan dan capai.”

“Terus? Apa celengan-celengan itu kita pecah sekarang?”

“Itu ide yang bagus. Sekalian kita bisa menggunakan uangnya.”

“Diajeng, aku tidak akan memecah celengan-celengan itu. Biarkan uang itu mengendap di sana. Nanti kita ambil setelah anak-anak kita besar. Aku ingin membuktikan kepada merea bahwa aku adalah penambung yang tekun..”

“Kenapa uang itu tidak ditabung di bank?”

Engkau hanya tersenyum.

***


SEJAK peristiwa itu, kamu semakin tidak terlalu sering berbicara dengan isterimu, kecuali untuk soal uang belanja, bayar listik, bayar sekolah anak, uang arisan kantor atau kabar duka tentang saudara dan handai tolan yang meninggal. Kamu makin asyik dan suntuk dengan celengan-celengan itu. Kamu semakin bergairah menambah koleksi. Kamu bergairah membeli celengan-celengan baru.

Satu kamar belakang telah lepas, penuh sesak ribuan celengan. Disusul kamar tengah. Disusul kamar samping. Disusul kamar depan. Isteri dan anak-anakmu protes.

“Apa hidup kita akan digusur celengan-celengan itu?” ujar isterimu.

“Sabar, Diajeng. Minggu depan pavilion kita jadi. Kita pindah ke sana. Biarkan rumah ini dihuni celengan-celengan itu.”

“Tapi aku dan anak-anak sudah tidak tahan.”

“Sabar. Itu hanya karena kalian belum terbiasa.”

“Belum terbiasa?!” mata isterimu membelalak.

“Maksudku belum terlalu terbiasa. Jadi masih butuh pengalaman.”

“Sampai kapan?”

“Jangan cengeng, Diajeng.”

***


RIBUAN babi hutan bergerak, menembus rerimbunan dedaunan, menggasak berbagai tanaman. Ketela, jagung, ubi jalar terangkat dari akarnya. Tumbang. Porak-poranda. Ribuan celeng itu terus merangsek, menggasak apa saja. Menembus lapisan-lapisan pagar yang mengepung rumah-rumah penduduk. Mereka mengamuk. Menggasak dan menyeruduk. Pintu-pintu rumah jebol. Daun-daun jendela tanggal. Kaca-kaca pecah.

Kawanan babi hutan itu memasuki kamar-kamar. Memorak-porandakan seluruh isi rumah. Kasur-kasur, bantal-bantal dicabik-cabik. Lemari-lemari roboh, seluruh isinya terburai. Kompor gas, panci, gelas, piring, sendok, garpu terpelanting ke udara dan jatuh berserakan. Tembok hancur. Lantai merekah. Rumah-rumah roboh.

Orang-orang lintang pukang berlarian. Jeritan membahana.

Orang-orang mengambil senjata apa saja. Pentungan. Lonjoran besi. Parang. Kelewang. Golok. Belati. Rantai. Gir. Bongkahan batu. Pisau dapur, atau apa saja. Banyak pula yang mengokang senapan. Dengan keberanian yang terpompa, mereka perang terbuka terhadap ribuan babi hutan. Senjata-senjata tajam berkelebatan. Menebas-nebas. Darah muncrat. Ratusan kepala babi hutan terlepas dari tubuhnya.

Senapan-senapan menyalak. Ratusan timah panas muntah, melesat ke udara. Bersesing-desing. Tubuh-tubuh babi hutan tumbang. Bersimbah darah. Namun hanya sebagian. Sebagian besar lainnya tetap meradang dan menyerang. Ratusan orang luka-luka. Banyak yang terkapar dengan darah mengucur dari dada dan perut mereka.

Senapan-senapan semakin bergairah menyalak. Menumpahkan ribuan peluru. Gerombolan babi hutan itu meninggalkan pemukiman. Berlarian.

Istrimu terbangun. Menjerit-jerit. Memeluk tubuhmu.

“Tenang, Diajeng. Tenang. Tak kan terjadi apa-apa.”

Isterimu semakin erat memelukmu. Tangisnya makin keras.

“Lihat. Lihat. Rumah kita masih utuh. Tak ada yang hilang. Tak ada yang rusak atau pecah.”

Isterimu masih menangis. Tubuhnya gemetar. Peluhnya membasahi tubuhnya.

“Babi-babi hutan itu memang sering mengamuk. Tapi tidak untuk saat ini. Polisi dan tentara sudah dikerahkan untuk membasmi mereka. Bukankah kamu sering mendengar suara letusan senapan?”

Isterimu terdiam. Tapi, wajahnya tetap saja menyiratkan rasa cemas.

“Tidurlah, Diajeng. Ada baiknya berdoa, agar tenang.”

Engkau pun kembali tidur. Terlelap. Tak ada seekor babi hutan pun singgah dalam mimpimu.

Mendadak engkau terbangun. Engkau pun langsung bangkit dan berlari menuju sumber suara keributan.

Matamu terbelalak. Mulutmu terkunci. Engkau tak mampu berbuat melihat isterimu mengamuk. Ia mengayunkan-ayunkan lonjoran besi. Celengan-celengandalam kamarmu hancur. Tubuh tembikar mereka berserakan. Uang kertas dan koin logam terburai di lantai. Engkau mencoba menahan amukan isterimu. Tapi gagal. Ia terus menghantam celengan-celengan itu, tanpa ampun. Engkau menangis, mendengar celengan-celengan babi hutan itu menjerit dengan suara “nguik-nguik”. Engkau pun terperanjat, melihat darah mengucur dari tubuh celengan-celengan celaka itu. Usus dan jantung mereka terburai. Tubuhmu lemas. Engkau pun tumbang.

Engkau terbangun, matamu disergap selang-selang infus dan warna putih yang mengepung ruang.

“Tenang, Mas. Mas hanya kecapekan. Dokter bilang, besok mas sudah boleh pulang.” Isterimu tersenyum.

“O ya, soal celengan itu tak usah dirisaukan. Rumah kita jauh lebih nyaman tanpa mereka. Dan, tidurku jauh lebih nyaman sejak mereka lenyap dari hidup kita. Mas dengan suaraku. Mas… Mas… Mas…. Dokter! Dokter! Tolong! Dooookkkkkteerrrrrrr!!!!”

Engkau tak mendengar jeritan suara isterimu. Engkau tertidur lelap. Ribuan celengan itu menghampirimu. Mengendus-endus tangan dan wajahmu. (*)

Yogyakarta, 2011



Share: