Jumat, 27 Januari 2012

 

Penabur Benih


Penabur Benih

Oleh M. IKSAKA BANU


SESUAI pesan Pater Albrecht van der Gracht, doa arwah kubawakan dalam bahasa Latin sepenuhnya sebelum tubuh kaku yang diberi pemberat itu dengan tergesa diluncurkan ke laut lewat sebilah papan. Tak ada kain linen yang tersisa untuk membungkus jenazah. Si mati tampil apa adanya. Menganga, dengan gusi dan bibir yang hancur dikikis sariawan. Masih terlihat noda kecokelatan, sisa muntah, bercak darah, dan air seni di beberapa bagian baju yang dikenakan almarhum. Sepintas tadi, kami seperti sedang menghukum seorang pemberontak dengan cara membuangnya hidup-hidup ke laut. Orang-orang di kapal ini memang keterlaluan. Tak kujumpai wajah berduka, belas kasih, ataupun penghargaan. Padahal sebelum menjadi mayat, ia adalah Letnan Meeus van Scheveningen, legenda perang Antwerp yang selama ini kami hormati.

Barangkali kematian cepat dan beruntun akibat penyakit scheurbuik sejak keberangkatan dari pelabuhan Texel tahun lalu, serta wabah zwarte dood pada perhentian di Madagaskar, telah mengubah hati kami menjadi tawar, dingin, dan keras. Beberapa orang yang terbaring di kabin sakit bahkan berharap secepatnya sirna dari muka bumi, karena tahu tak ada yang sanggup merawat mereka lagi. Adapun kami yang masih bisa berdiri ini, tampaknya juga tinggal menunggu giliran sebelum tertular dan mati.

“Jangan turun dulu, Jacob. Temani aku melihat pemandangan di belakang,” Pater van der Gracht mendadak mencengkeram tanganku.

“Bukankah kemarin Anda demam, Pater? Lagi pula angin sore sangat jahat,” sahutku.

“Tak ada angin jahat, Jacob. Setidaknya belum pernah kubaca di kitab suci,” Pater menggeleng. “Sebentar saja.”

Dasar keras kepala. Kubimbing ia menuju buritan. Tempat itu sempit dan lantainya miring. Dalam keadaan sehat, Pater van der Gracht mampu mendaki pergi-pulang bukit kecil di sekitar biara kami di Zeeland. Tetapi kini ia tampak begitu ringkih. Luka bernanah yang semakin meluas dan tak kunjung kering di paha nyaris melumpuhkan kaki kanannya. Walau demikian ia tabah menapaki undakan, melewati atap kabin. Sampai di atas, kupastikan ia tak memperoleh kesulitan melangkah di antara centang-perenang tali layar dengan jubah cokelatnya yang panjang. Dan setelah yakin mendapat pegangan kukuh di tiang kapal, kubiarkan pastor berusia lima puluh tahun itu berdiri mematung bersama tongkatnya, mengikuti alunan gelombang laut. Di depan kami, agak terhalang oleh lentera besar yang dipasang di ujung pagar, terlihat tiga kapal raksasa, masing-masing dengan lima tumpuk layar berwarna putih, bergerak lambat mengikuti kapal kecil kami seperti anjing-anjing peliharaan yang setia. Seandainya ada teropong, tentu bisa kubaca tulisan yang tertera pada setiap haluan kapal: Hollandia, Amsterdam, dan Mauritius.

YA, sebagai novis bau kencur berusia enam belas tahun, sekaligus asisten pribadi Pater Albrecht van der Gracht, aku teramat girang saat memperoleh kabar harus menemani beliau dalam pelayaran jarak jauh ini. Semula aku berharap bisa ikut salah satu dari tiga kapal megah berbobot satu-dua ton itu. Ternyata kapal-kapal tersebut sudah memiliki pendoa. Para imam Calvin. Maka aku dan Pater van der Gracht, satu-satunya imam Katolik, harus puas ditempatkan di Duyfken, sebuah kapal pelopor kecil bertiang tiga, yang hanya berisi sekitar 20 orang.

“Siapa sangka armada semegah itu berisi gerombolan mayat hidup. Begitukah pikiranmu melihat kapal-kapal itu, Pater?” terdengar suara besar, bersaing dengan debur ombak. Kami memutar tubuh. Kutangkap wajah tirus Tuan Guilliam Elias Goeswijn, salah seorang kepala urusan dagang. Ia tidak mengenakan topi. Rambut panjangnya berkibar tertiup angin. Sepasang bibir yang menyembul dari gerumbul kumis dan jenggotnya terlihat rusak akibat sariawan, seperti isi mulut kebanyakan penumpang kapal ini. Tetapi tentu saja masih terlacak jejak kemakmuran di sekujur pakaian yang dikenakannya.

“Selamat sore, Heer Goeswijn,” hampir bersamaan, aku dan Pater menggumam.

“Jangan terlalu lama di sini. Sebentar lagi tempat ini akan dipenuhi para kelasi yang sibuk dengan urusan tali-temali dan layar,” Elias Goeswijn mendekat.

“Tidak lama,” sahutku.

Tuan Goeswijn mengangguk, matanya lurus ke arah kapal-kapal di belakang kami.

“Seandainya para petinggi Compagnie van Verre tahu bahwa ratusan ribu gulden yang mereka tanamkan hanya berakhir seperti ini….” Elias Goeswijn tidak melanjutkan kalimatnya.

“Belum berakhir, Heer. Cobalah miliki sedikit iman. Tuhan masih bersama kita,” Pater van der Gracht menyentuh pundak Elias Goeswijn. “Aku tidak melihatmu di misa arwah tadi, padahal aku dan Jacob tidak membuat tanda salib, dan doa yang kupilih cukup umum. Seharusnya Anda hadir.”

“Sulit mengikuti misa dalam bahasa yang tidak kumengerti, Pater. Lagi pula aku harus menyusun laporan. Permintaan Kapten Simon Lambrecht Mau. Tak bisa ditunda,” Elias Goeswijn mengangkat bahu. “Maafkan aku.”

“Ya, ya. Aku bisa melihat. Pelan-pelan Kapten pun mulai murtad. Dan soal laporan itu, mijn God. Sudah berapa lama kita terkatung di sini, Heer? Bukankah Anda punya waktu seumur hidup untuk menulis laporan? Jangan lupa, yang baru saja berangkat ke dasar laut adalah Letnan van Scheveningen, sahabat kita semua.”

“Jangan lempar kemarahanmu padaku, Pater. Terlalu lama di atas kapal, terjerang matahari, kelaparan, kena penyakit menjijikkan, perkelahian berdarah, dan tersesat di atas kolam raksasa ini memang membuat semua orang kehilangan akal sehat. Hari ini yang mati genap 70 orang. Sementara pelabuhan Bantam itu, entah di mana letaknya. Seharusnya kita berontak!” Elias Goeswijn mengepalkan tangannya.

“Belum cukupkah yang mati berkelahi dan dipenjara itu?” sela Pater.

“Aku lelah dengan semua ini,” sambung Goeswijn. “Dari Texel, cuaca sangat bagus. Tetapi lantaran mendengarkan perintah orang bodoh, kita harus berjalan melambung sebelum tiba di Afrika. Dan di Isla de Mayo, tiba-tiba saja angin berhenti. Aku sudah membaca gejala. Kusarankan mengisi logistik dengan buah-buahan sebanyak mungkin, sembari menunda keberangkatan sebentar. Anda tahu, menurut catatan Hernando Cort’s, suku Indian Aztec tak pernah menderita scheurbuik, karena setiap hari mereka makan buah-buahan. Kapten setuju, tetapi usulku ditolak oleh si bajingan pelagak di sana itu untuk alasan yang tidak jelas,” Elias Goeswijn menunjuk kapal Mauritius.

“Tuan Cornelis de Houtman?” tanyaku.

“Siapa lagi? Tak sudi aku sekapal dengannya. Lebih baik pindah ke sini,” sepasang mata nyalang Elias Goeswijn mampir sebentar di wajahku, sebelum kembali menatap Pater van der Gracht. “Begitu tinggi kepercayaan para pejabat kepadanya. Padahal orang itu tidak mengerti apa pun tentang navigasi. Betul, ia berhasil mengembangkan peta perjalanan versi Plancius dan van Linschoten dengan temuannya selama menyusup di Lisbon, tetapi soal memimpin ekspedisi seharusnya mereka mendengarkan orang yang lebih tepat: Pieter Dirkszoon Keijzer, jurumudi dengan segudang pengalaman melaut. Bukan begitu, Pater?”

“Murka Tuhan,” Pater van der Gracht menarik napas panjang.

“Mengapa Ia murka?”

“Karena misi ini telah diselewengkan dari tujuan semula, dan karena kapal-kapal ini dijejali orang murtad, pemabuk, pezina, serta pedagang tak bertuhan seperti Anda,” Pater van der Gracht menyandarkan tubuh ke tiang layar. “Kukira keempat kapal ini sarat dengan dominee, predikant, pendoa, apa pun sebutan kalian, yang berniat ambil bagian dalam pewartaan iman Kristiani di dunia baru. Ternyata hanya aku, ditambah ketiga imam itu. Bagaimana tanggung jawab Tuan-tuan terhadap Raja dan Gereja? Ini persis tulisan di dalam kitab suci, Messis quidem multa operarii autem pauci. Panen melimpah, tetapi pekerjanya sedikit. Ah, jangankan untuk negeri baru. Tengoklah kapal ini. Hanya enam orang yang ikut misa arwah. Reformasi? Kurasa Tuhan akan senang bila aku bisa mengembalikan kalian semua menjadi Katolik. Mereka lebih taat. Dan ketaatan membuahkan keberhasilan. Lihatlah peran gereja mendukung Columbus menemukan dunia baru seabad lalu.”

“Jangan bicara agama, Pater. Tak ada satu pun pastor dalam pelayaran pertama Columbus ke Guanahani. Klub para pedagang punya laporan lengkap tentang hal itu. Soal reformasi, apa lagi yang harus kita bicarakan? Semua tahu, penyebabnya adalah pemaksaan doktrin Katolik dalam kehidupan sosial oleh badan Inkuisisi Spanyol untuk menekan rakyat Nederland, terutama para pejuang Oranye yang kebanyakan reformis Protestan. Mereka jugalah yang menutup jalur rempah dari Lisbon sehingga kita terpaksa bertualang seperti ini.”

“Aku tahu.”

“Baik. Mestinya Anda juga tahu, bahwa yang kita perangi bukan agama, melainkan tindakan brutal Spanyol di bawah komando Felipo II bersama mesin-mesin perang mereka semacam Pangeran Agung Alba, atau Pangeran Parma. Lalu, apa kata Anda tadi? Pedagang tak bertuhan? Negeri Belanda sudah merdeka. Demikian pula warganya. Dan seperti Willem van Oranje, aku memilih sendiri agamaku. Menolak segala sesuatu yang dipaksakan.”

“Kalau bukan sesuatu yang dipaksakan, mengapa Dewan Negara berpangku tangan saat para pengikut Calvin menekan penduduk Waloon, Hainault, dan Artois di Selatan seraya menghancurkan lukisan dan patung-patung di dalam gereja mereka? Apakah Anda termasuk barisan yang bersukacita memenggal kepala Kristus, Bunda Maria, dan menganggap kami menyembah patung? O, dimitte nobis debita nostra.”

“Pater, Anda orang Zeeland. Mengapa kerap mengutip bahasa Latin? Apakah Tuhan hanya bicara bahasa Latin? Sejujurnya, yang kusuka dari kaum reformis adalah, mereka memiliki kitab dalam bahasa ibu sendiri. Mudah dipahami hingga ke kalangan bawah. Ah, sangat melelahkan bicara agama. Satu topik belum selesai, berputar ke topik lain,” Elias Goeswijn menepuk dahi. “Yang ingin kusampaikan sederhana saja, Pater. Ini kapal dagang biasa. Misi dagang biasa. Jangan mengutuk. Jangan menyumpahi isi kapal ini. Karena, seperti halnya para imam Calvin di sana, kehadiran Anda di sini sebatas menjadi pendoa kami. Itu saja. Janganlah mengacaukan misi dagang kami dengan pesan agama. Biarkan kami membuka lahannya terlebih dahulu.”

“Anak muda!” Pater memukulkan tongkatnya ke geladak. “Pesan itu ada di dalam surat yang ditandatangani Raja, Dewan Negara, dan Uskup. Dengan atau tanpa bantuan Anda semua, bila aku masih hidup, setiba di sana aku akan tetap melakukannya. Menjadi penabur benih. Mengikuti jejak Franciscus Xaverius di Amboina. Pasti Anda tahu bahwa Portugis sudah tiba lebih dahulu di sana. Dan mereka bukan pengikut reformis.”

“Ya, dan Anda pasti tetap tidak akan percaya bila kukatakan bahwa usulan pewartaan iman di dunia baru itu ditambahkan oleh Kamar Dagang semata untuk memperlancar restu dari Raja, yang sedang tergila-gila segala hal berbau agama.”

“Oh, aku percaya. Dan semoga dengan perbuatan itu, kalian semua terbakar di neraka!” Pater membuat tanda salib. “Nah, permisi, Heer. Langit sudah mulai gelap. Ayo, Jacob.”

Kami tinggalkan Tuan Goeswijn sendirian di buritan.



KETIKA menuju perut kapal, baru kusadari betapa keras tadi mereka berbicara. Mengalahkan derak kayu geladak yang saling berimpit diterjang ombak. Bunyi yang biasanya menemani hari-hari sepi kami di atas Duyfken ini.

Tiba di kabin, Pater mendadak terkulai. Kuangkat ia ke ranjang. Kunyalakan sebatang lilin besar. Wajah Pater jauh lebih pucat dibandingkan tadi siang. Suhu badannya tinggi. Dan bengkak di gusinya kelihatan semakin buruk. Kuambil segelas anggur dan cuka apel, tetapi ia menggeleng. Akhirnya kutuang minuman itu ke atas sehelai kain, lalu kuletakkan di dahinya, berharap bahwa dengan cara itu suhu tubuhnya bisa turun. Kali ini ia menurut saja.

“Jacob, setelah semua percakapan tadi, aku merasa diriku seperti Kristus, yang sedang menanti waktu di Taman Zaitun. Berdoalah untukku dan seisi kapal ini.”

Aku memejamkan mata mencoba berdoa, tetapi hatiku sungguh hampa. Kalau Pater merasa seperti Kristus, barangkali aku boleh menganggap diriku sebagai Santo Petrus. Orang terdekat Kristus, yang tak sanggup melakukan apa pun untuk menyelamatkan gurunya.

“Dunia berubah, Nak,” bisik Pater setelah melihatku membuka mata kembali. “Ilmu pengetahuan berlari cepat. Orang menemukan pengukur waktu, pistol, lensa, kacamata, mikroskop, teleskop. Pernah dengar kisah Galileo Galilei, bukan?”

Aku mengiyakan, sambil terus menekan kain ke dahinya.

“Nicolas Copernicus dan Galileo Galilei membuka rahasia benda-benda langit, menunjukkan bentuk bumi yang seperti bola. Memberi jalan bagi para petualang untuk berlayar jauh, menemukan dunia baru. Tetapi menuju ke mana semua ini? Apalagi ditambah kehadiran kaum reformis. Apa yang Tuhan inginkan dengan segala perubahan besar, perbedaan, dan perpecahan ini?”

“Agar kita semakin setia kepada-Nya?” tanyaku.

“Entahlah. Seperti kisah Menara Babel, kurasa Ia muak melihat kesombongan gereja, sehingga akhirnya membagikan berkat-Nya kepada bangsa-bangsa lain. Lihatlah orang-orang Moor itu. Dulu aku selalu berpikir bahwa mereka adalah utusan kegelapan. Membuat onar di Tanah Suci, menyulut perang besar, mengajak orang mengakui nabi mereka. Tetapi mungkinkah utusan kegelapan memiliki hati yang peka, mengajarkan kebajikan, dan menguasai peradaban tinggi? Bahkan Spanyol, yang lama berkuasa atas negeri kita, sempat tunduk selama tujuh abad kepada mereka. Sesuatu yang hanya mungkin dilakukan oleh bangsa yang diberi restu oleh surga.”

“Istirahatlah, Pater,” kuberanikan diri memotong kalimatnya.

“Para reformis, orang-orang Moor, dan kita sendiri. Semua pekerja kebun Tuhan. Biarkan Ia mengambil yang terbaik,” bisik Pater sebelum tertidur.

BARANGKALI aku terlalu letih, mungkin juga mulai terjangkit demam kuning, sehingga ikut terlelap di kursi, dan baru melonjak bangun saat mendengar teriakan keras yang diulang beberapa kali: “Daratan! Daratan!”

Seketika, aku larut dalam kegemparan itu. Menghambur ke dek atas. Agak sulit, karena banyak penghuni kapal berlomba menaiki anak tangga. Begitu muncul di atas, aroma aneh yang menyegarkan melanda cuping hidungku. Hari belum lama berganti. Di sisi barat, ujung langit masih menyisakan warna biru kemerahan, tetapi di timur sana, kira-kira berjarak kurang dari seperempat hari perjalanan, berlatar langit biru jingga dengan beberapa gumpal awan tipis, kusaksikan siluet sebuah dataran. Semula kukira tiga buah pulau terpisah, tetapi semakin jelas bahwa itu adalah sebuah pulau tunggal berbukit-bukit, dengan mulut teluk yang lebar.

Juru isyarat merangkai bendera-bendera kecil lalu mengereknya di antara tiang-tiang layar. Ternyata langsung memperoleh jawaban. Mula-mula dari kapal Mauritius, yang selama ini menjadi markas Tuan Cornelis de Houtman, si pemimpin ekspedisi. Disusul kedua kapal lain. Jawaban mereka sama: Lempar jangkar.

Sorak-sorai terdengar di segala penjuru. Menurut Kapten, sesuai peta van Linschoten, nama pulau itu adalah Enggano. Dalam bahasa Portugis, engano berarti kecewa. Semoga hal itu tak berlaku di sini, karena cahaya sukacita justru sedang melanda kami saat ini.

Kuamati sekeliling kapal. Kapten Simon Lambrecht Mau adalah manusia yang terlihat paling sibuk. Dari mulutnya menyembur banyak perintah. Dan untuk pertama kali setelah hampir dua tahun berlalu, aku melihat lagi sosok tentara kerajaan. Jumlahnya tinggal delapan orang di kapal ini. Mereka berbaris di dek, lengkap dengan ketopong, baju besi, dan senapan yang diminyaki penuh semangat sehingga kembali berkilat. Pendeknya pagi ini, 5 Juni 1596, aku menyaksikan pawai harapan. Garis-garis senyum yang lebar. Hawa riang yang menggairahkan. Lupa bahwa sebagian dari mereka sedang didera demam kuning dan sariawan parah.

Demam kuning? Aku tersentak, lalu berlari ke kabin bawah, nyaris tersungkur di ujung anak tangga. Kuhampiri ranjang Pater van der Gracht. Kusaksikan Tuan Elias Goeswijn bersama Tuan Blasius Reijr, tabib kapal, berdiri khidmat di tepi ranjang. Segera aku paham apa yang terjadi.

“Ada pesan akhir dari beliau, Heer?” tanyaku sambil menatap wajah Pater. Kedua mata pastor itu tertutup. Mulutnya yang bengkak terdorong ke kanan membentuk sebuah senyum jenaka, membuatku ingin menangis. Tetapi tak ada air mata yang terbit. Mengapa ia kutinggalkan begitu lama tadi?

“Kutemukan, tubuhnya sudah dingin,” sahut tabib Reijr.

Aku kembali mengangguk.

“Kita segera berlabuh,” Elias Goeswijn menengok jam pasir di meja Kapten. “Akan kuminta seseorang membuat peti mati. Kita bisa menyelenggarakan upacara pemakaman yang layak di darat. Tentunya engkau bisa memimpin doa, Nak?”

“Ya, Heer,” jawabku. “Dalam bahasa Latin maupun Belanda. Tetapi sebaiknya Belanda, agar semua ikut berdoa.”

Kamar itu sunyi, tetapi dari jendela kabin aku melihat keramaian luar biasa di sekeliling kapal: Sekelompok manusia dengan hiasan meriah di kepala, menghampiri kami dengan kano. Mereka hanya memakai selembar cawat. Tubuh mereka kecil, kekar, dan berwarna cokelat. Berseru dalam bahasa yang tidak kumengerti. Segera terbayang kisah Columbus dan suku asli di Hispaniola pemangsa manusia. Di antara rasa gentar dan gembira, diam-diam aku bertanya kepada diriku sendiri, inikah kebun Tuhan yang harus kugarap? (*)





Jakarta, 23 Juni 2012

M. Iksaka Banu bekerja di bidang desain grafis dan periklanan. Lulus dari Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Bermukim di Jakarta.



Catatan:

Bantam              : Banten.

Scheurbuik         : Kurang vitamin C. Gusi bengkak, bibir dan rongga mulut terkelupas, luka bernanah, demam kuning, yang berakibat pada kelumpuhan dan kematian.

Zwarte dood      : Maut Hitam. Wabah pes.

Novis                  : Pembelajar menjadi imam (Katolik).

Dominee             : Imam Katolik (Belanda).

Predikant           : Imam Protestan (Belanda).

Calvinis              : Salah satu aliran gereja reformis (Protestan).

Dimitte nobis debita nostra        : Ampunilah kesalahan kami (petikan Doa Bapa Kami).


(*) Sumber : Koran Tempo, 15 Juli 2012
Share: