Sabtu, 24 Desember 2011

 

Cerpen Triyanto Triwikromo : Keropos

KEROPOS

Oleh TRIYANTO TRIWIKROMO



SETIAP hari dokter dan para perawat harus tampak berjuang untuk menyembuhkan siapa pun yang berada di ruang menyerupai bangsal yang menjemukan itu. Mereka tidak membiarkan siapa pun tidur atau bermalas-malasan di ranjang. Ada yang dengan gesit memasang slang-slang infus ke tubuh-tubuh yang kian kurus. Ada yang memasang kabel-kabel seperti hendak menyetrum binatang.

Tentu saja ketika melakukan segala tindakan yang mereka sebut sebagai terapi penyembuhan itu, para dokter dan perawat begitu berisik. Seperti ada yang selalu mengawasi, mereka mondar-mandir dari ranjang satu ke ranjang lain. Mereka berbisik atau berteriak kepada tubuh-tubuh yang tersalib di ranjang, dan tidak jarang membentak-bentak para penghuni bangsal yang cuek dan tidak mau diatur.

“Jangan berisik!” aku memprotes begitu sadar telah berada di rumah sakit jiwa, “Keluarkan aku dari sini. Aku tidak gila!”

“Kalau kau tidak mau dianggap gila, jangan bertingkah seperti mereka!” seorang dokter berbisik kepadaku.

Untuk lebih mendapatkan simpati dari dokter itu, aku tidak jadi memberontak. Kuputuskan aku tetap terlentang di ranjang sambil menatap perempuan-perempuan lain yang bersungut-sungut atau meneriakkan kata-kata tak keruan.

“Jadilah perempuan manis,” kata dokter itu, “Jika kau memberontak dan ikut-ikutan berteriak akan kusuntik dengan obat penenang.”

“Obat penenang? Untuk apa?”

“Untuk memudahkan kau menari. Kau suka menari bukan?” dia menjawab sembarangan.

“Sudah kukatakan aku tidak gila. Dokter jangan ngawur. Untuk mempercepat kematiankukah?”

“Agar kau bisa segera melayang-layang ke surga…,” dia tertawa.

Kubiarkan dokter itu menjawab berbagai pertanyaanku secara tak masuk akal. Aku tahu dia sedikit pun tidak menganggapku sebagai perempuan waras.

“Aku heran,” dia mulai mencerocos lagi, “…perempuan gila sepertimu kok dianggap oleh para serdadu sebagai anggota Gerwani yang membahayakan. Apanya yang membahayakan?”

“Sampean benar, Dokter. Aku memang tidak membahayakan. Mereka salah tangkap. Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya penari yang suka menyanyi….”

“Kalau begitu menari dan menyanyilah….”

Tak kutolak perintah dokter yang selalu bertutur dengan lembut itu agar dia berempati pada penderitaanku. Aku kemudian menari. Aku kemudian menyanyi. Mula-mula aku bergerak dengan lamban dan menyanyi dengan lirih. Menari dan menyanyi dengan hati memang harus seperti itu. Energi raga, rasa, dan irama harus diatur agar tidak meletup-letup sesuka hati. Akan tetapi kebanyakan orang-juga dokter itu—tidak pernah sabar menungguku memutar perut, menggoyang pinggul, dan membusungkan dada. Mereka juga tidak sabar mendengarkan aku mendesah-desahkan lirik lagu yang membuncahkan birahi. Karena itu selalu pada saat aku menari dan menyanyi mengikuti kata hati, mereka selalu berteriak, “Goyangnya mana! Senggakannya mana!”

Jika sudah diteriaki seperti itu, aku memang kemudian menuruti perintah mereka. Goyanganku pasti menggila dan aku mendesah-desah seperti perempuan yang dicumbu sepuluh kera. Dan karena selalu tidak bisa dihentikan, para perawat dan dokter punya alasan menyuntikku dengan obat penenang. Selalu sesudah itu aku akan tertidur. Selalu sesudah itu aku akan terbangun ketika malam telah larut, ketika perempuan-perempuan lain terlentang mirip orang tersalib di ranjang.


ENTAH sudah bulan atau tahun ke berapa di rumah sakit jiwa itu, tengah malam aku terbangun dengan kekalutan dan ketakutan luar biasa. Aku merasa wajah-wajah perempuan gila di bangsal berubah jadi raut binatang berliur yang menjijikkan. Ada yang berwajah anjing. Ada yang menyerupai celeng. Ada yang bermuka kucing, tetapi berleher panjang menjulur-julur menjilati wajah binatang-binatang aneh lain. Aku tak mungkin hidup bersama mereka. Aku tak mungkin hidup bersama satwa-satwa berliur. Aku harus melarikan diri. Tak ada cara lain, aku harus mencopot kabel-kabel dan jarum di tubuhku. Aku harus mencopot slang-slang infus.

Tak ada perawat yang mengetahui tindakanku. Mereka memang menjaga kami, tetapi semua tertidur lelap. Ini memudahkan aku berjingkat-jingkat untuk ke luar dari bangsal.

Semula kusangka mudah melewati para perempuan gila itu. Meskipun aku melangkah dengan pelan-pelan, ternyata gesekan antara kakiku dengan lantai yang begitu lembut bisa mereka dengar. Ini membuat mereka bangun dan akan menyulitkan pelarianku.

“Sssst… kembali ke tempat. Tunggu sampai mereka terlelap…,” aku mendengar suara yang sangat kukenal, suara Sonya, mendengung di telingaku.

Bisikan dari samping ranjangku itu membuatku mengurungku niat untuk sesegera mungkin melarikan diri.

“Tetapi mereka tak pernah benar-benar terlelap,” aku mendesis.

“Tunggu hingga pukul 02.00.”

Menunggu dari pukul 00.00 hingga pukul 02.00 aku bercakap-cakap lirih dengan Sonya.

“Dulu aku juga selalu ingin melarikan diri,” Sonya berbisik, “Tetapi selalu gagal. Penjagaan begitu ketat.”

“Apakah sekarang kau masih ingin melarikan diri?”

“Tentu saja. Rumah sakit jiwa ini bukan tempat pas untuk hidupku. Aku bukan orang gila. Masa orang yang bergabung dengan Gerwani dan selalu ingin melawan iblis dianggap gila?”

“Melawan iblis?”

“Ya… saat ini Tuhan berada dalam situasi yang membahayakan. Aku telah melihat legiun iblis yang dipimpin Lucifer telah muncul kembali dari dunia kegelapan. Mula-mula mereka menghajar manusia-manusia terbaik, orang-orang suci, para malaikat, dan pada akhirnya akan membunuh Tuhan.”

“Membunuh Tuhan?”

“Ya. Saat ini entah mengapa Tuhan begitu rapuh. Aku mendengar suara-Nya. Dia memilihku untuk menyelamatkan-Nya….”

“Menyelamatkan-Nya? Jangan sok kuat. Bagaimana mungkin kau akan menyelamatkan Tuhan jika melawan para dokter di rumah sakit jiwa ini kau tak mampu?”

“Siapa bilang tidak mampu? Aku menunggu waktu tepat. Telah kudengar bisikan-Nya, ‘Kau harus menunggu waktu yang paling tepat untuk menyelamatkan Aku, anak-Ku!’”

“Apakah kau ingin mengatakan pada suatu saat kau akan terbebas dari rumah sakit jiwa ini dan kemudian kau akan menyelamatkan Tuhan dan para malaikat penuh berkat?”

“Aku percaya sebagaimana aku percaya telah mendengar bisikan Tuhan. Kuncinya hanya satu: untuk bebas, kita harus menunggu saat yang tepat. Karena itulah, kini aku tidak terburu-buru melarikan diri. Aku tahu kau pun punya saat yang tepat untuk membebaskan diri.”

Hmm, lepas dari ketakpercayaanku pada legiun iblis yang akan membunuh Tuhan atau kisah bisikan-bisikan Allah kepada Sonya, perkataan perempuan sableng tentang “saat tepat untuk bebas” kuyakini kebenarannya. Karena itulah, kubiarkan terus dia mencerocos mengenai tugas-tugas penyelamatan dunia yang harus dia sandang sekarang dan pada masa-masa yang akan datang.

“Bergabunglah denganku untuk menyelamatkan Tuhan,” Sonya merayu, “Bergabunglah denganku melawan penindasan musuh-musuh Tuhan. Kau tahu siapa musuh-musuh Tuhan?”

Aku menggeleng.

“Tentu saja dari dulu hingga sekarang kaum iblislah musuh abadi Tuhan. Hanya, kau harus tahu, iblis-iblis itu telah menjelma sebagai serdadu-serdadu yang menangkap dan menjebloskan kita ke rumah sakit jiwa ini.”

“Bukankah para serdadu itu yang justru menganggap kita sebagai iblis-iblis yang layak dicekik atau dibunuh sesuka hati?”

“Karena tidak pernah mendengar suara Tuhan, mereka tak tahu betapa aku adalah perempuan kudus yang diutus untuk mengubah para anggota Gerwani sebagai hamba-hamba Allah yang akan menyelamatkan dunia. Apakah kau pernah mendengar suara Tuhan?”

Aku menggeleng lagi.

“Suara Tuhan, kau tahu, akan membimbingmu menemukan kebebasan abadi. Hanya, Tuhan sekarang irit bicara. Dia begitu sibuk berperang dengan legiun Lusifer sehingga seakan-akan Dia meninggalkan kita,” Sonya terus mencerocos, “Karena itu bantu aku membela-Nya. Bantu aku melenyapkan iblis-iblis itu. Tidak sekarang. Kita harus menunggu waktu yang paling tepat.”

Ihik! Ihik! Jangan pernah kau menyangka aku memercayai segala perkataan Sonya. Aku tidak percaya manusia bisa menyelamatkan Tuhan. Aku tidak percaya iblis telah menjelma serdadu. Aku hanya percaya suatu saat aku akan bebas. Mungkin pada pukul 02.00. Mungkin pada saat semua orang terlelap dan tak seorang pun peduli pada orang lain.

“Sekarang tidurlah dulu. Nanti kubangunkan,” Sonya membelai rambutku, “Aku berjanji membawamu lari dari sini.”

Aku sebenarnya ingin menolak permintaan Sonya. Akan tetapi entah karena pengaruh obat penenang atau aku memang tak boleh mencopot slang-slang infus dan kabel-kabel dan jarum di tubuhku, denyut jantungku melemah, perutku seperti diaduk-aduk, dan kepala serasa akan pecah.

“Pasang lagi kabel-kabel dan jarum ke tubuhmu. Pasang lagi slang-slang infus itu. Kau tidak boleh mati… kau masih harus menyelamatkan Tuhan bersamaku nanti….”

Sekali lagi ingin kutolak kata-kata Sonya. Tetapi tubuhku terlalu lemah. Aku limbung. Aku hanya mendengar suara beberapa orang mendekat ke arahku.

“Edan! Edan! Perempuan sinting ini hendak bunuh diri. Dia tak tahu tanpa bunuh diri pun para serdadu akan membunuhnya kapan pun mereka ingin mengeksekusi…,” suara kesal salah seorang perawat mengiang-ngiang di telingaku.

“Suntik saja lagi!” kata perawat lain.

“Nanti kelebihan dosis….”

“Bagaimana kalau kita setrum?”

Aku tidak tahu apakah pada akhirnya mereka memberiku obat penenang atau menyetrumku. Aku terlalu rapuh dan lamur untuk melihat apa pun yang terjadi saat itu. Aku tidak tahu apakah saat disetrum aku kejang-kejang, mulutku berbuih, dan kehilangan ingatan-ingatanku. Aku juga tidak tahu apakah saat disuntik obat penenang aku tersenyum manis atau meringis kesakitan. Aku hanya tahu ketika bangun—mungkin hari telah berganti atau waktu tak bergerak sama sekali—slang-slang infus, jarum, dan aneka kabel menancap di sekujur tubuhku.

“Jangan takut. Tuhan telah berbisik kepadaku: para iblis belum akan membunuhmu. Mereka masih akan menginterogasimu,” Sonya membelai rambutku.

Entah karena apa saat itu aku begitu takut membuka mataku. Aku takut para perawat akan meracuni makananku. Aku takut para dokter yang bosan merawatku akan menyuntikku dengan obat penenang yang melebihi takaran atau menyetrumku dengan tegangan lebih dari 131 volt dalam waktu lebih 0,4 detik.

“Kau terpilih untuk menemaniku. Jadi, percayalah, kau tidak akan mati hari ini,” Sonya mengecup keningku, “Para serdadulah yang akan mati lebih dulu. Pasukan yang masih setia pada Sukarno akan memberontak. Soeharto akan terguling….”

Aku tersenyum mendengar Soeharto akan keok.

“Tetapi tentu tak mudah menjatuhkan Soeharto. Para iblis yang mengitari harus dihajar lebih dulu. Untuk itu kau harus tahu siapa iblis siapa malaikat, siapa yang baik siapa yang jahat.”

“Kukira tak terlalu sulit membedakan iblis dari malaikat.”

“Jangan takabur. Ada sebagian iblis yang justru hadir kepadamu menyerupai malaikat. Karena itu, kau harus belajar kepadaku bagaimana melihat wajah iblis.”

“Melihat wajah iblis?”

“Ya, dan kau juga bisa dengan cepat melihat wajah malaikat. Jika telah mahir, kau juga akan bisa bercakap-cakap dengan mereka. Kau mau kuajari melihat dan bercakap-cakap dengan iblis dan malaikat?”

Aku mengangguk.

“Tetapi tidak sekarang. Saatnya belum tiba.”

Ya, saatnya memang belum tiba. Andaikata Sonya mau mengajariku saat itu, aku pasti tak sanggup mencerna ajarannya. Sekali lagi kau tahu, aku tidak ingin membuka mata. Aku ingin berada di kegelapan abadi. Aku ingin merdeka dari cahaya. Aku ingin….


AKAN tetapi Sonya tidak akan membiarkan siapa pun berada dalam kegelapan abadi. Sonya sangat membenci kegelapan. Tidur pun dia ingin berada di bawah lampu yang menyala terang. Dan siang itu ketika setiap orang yang diberi kesempatan berjalan-jalan di taman, dia menyeretku ke tengah lapangan.

“Aku akan mengajarimu melihat iblis dan malaikat,” Sonya memintaku menirukan apa pun yang dia lakukan.

Kuturuti perintah Sonya. Karena Sonya menatap matahari tanpa berkedip, dengan mata sakit aku juga melakukan tindakan bodoh itu.

“Pandang terus sampai penglihatanmu menjadi istimewa. Sampai kau bisa melihat apa pun yang tidak bisa disaksikan oleh manusia lain!” Sonya terus menengadah.

Sekali lagi kuturuti perintah Sonya. Akan tetapi karena tak terbiasa menatap matahari secara langsung, berkali-kali kupejamkan mataku. Mula-mula tidak ada perubahan apa pun. Itu berarti saat memandang langit penuh bintang tidak akan kudapatkan laut penuh ikan paus. Atau saat menatap gunung tidak akan kutemukan terumbu karang penuh ikan. Akan tetapi lama-lama terjadi perubahan yang mengejutkan. Memandang matahari lama-lama aku justru merasa kehilangan matahari. Memandang matahari lama-lama aku justru melihat seratus celeng dikubur massal di permakaman sempit. Aku melihat perut celeng-celeng bunting itu ditusuk dengan tombak sehingga darah mengucur menggenangi pekuburan. Tidak! Tidak! Pemandangan itu bisa berubah dengan cepat. Celeng-celeng itu berubah menjadi perempuan-perempuan yang beramai-ramai menggali kubur sebelum pada akhirnya kepala mereka dihajar dengan popor senjata, sebelum perut bunting mereka ditusuk dengan bayonet oleh para serdadu gila.

“Sekarang lihatlah aku!” Sonya memaksaku, “Apa yang kau lihat?”

“Aku melihat wajahmu begitu cantik dan kau memiliki sepasang sayap yang indah,” aku menjawab sembarangan.

“Jangan bohong! Aku memang memiliki sayap indah, tetapi aku tidak berwajah. Setiap memandangku kau akan melupakan kepedihan,” Sonya mencoba membenarkan.

Tak kusangkal perkataan Sonya meskipun aku tahu seperti manusia lain dia memiliki wajah juga. Yang sesungguhnya terjadi, wajah Sonya kerap berubah sesuai yang dia inginkan. Begitu sering wajah ayu itu berubah—terutama menyerupai Bunda Maria—sehingga siapa pun tidak akan pernah bisa menatap wajah Sonya yang sebenarnya.

“Sekarang coba lihat para dokter itu!”

Aku pun menatap mereka.

“Apa yang kau lihat?”

Tak kujawab pertanyaan Sonya.

“Sekarang lihat para serdadu yang disusupkan ke rumah sakit jiwa ini? Kau melihat mereka menyerupai iblis bukan?”

Sekali lagi tidak kujawab pertanyaan Sonya.

“Prinsipnya hanya satu: kau hanya perlu konsentrasi dan meyakini apa pun yang kau lihat dengan sebagai sesuatu yang nyata. Pandanglah apa pun dengan jiwamu. Jangan dengan matamu. Nanti malam akan kuajari kau bercakap-cakap dengan malaikat, iblis, dan orang-orang yang telah mati.”

Kami kemudian tertawa bersama seperti sepasang anak kecil menemukan mainan yang hilang. Tentu saja siapa pun tidak akan menganggap kami melakukan tindakan luar biasa. Di rumah sakit jiwa kami boleh bertindak apa pun. Asal tidak membunuh sesama pasien, kami akan dianggap masih wajar-wajar saja.

Lalu sepanjang siang itu aku memang berusaha belajar melihat apa pun yang tidak disaksikan oleh manusia lain. Saat itu aku jadi tahu di toilet ada sepasang arwah yang senantiasa meminta siapa pun yang berada di tempat itu bersiul sesuka hati saat buang air kecil. Aku melihat tiga pasang ular yang berasal dari tahun-tahun yang telah lewat bersembunyi di akar-akar pohon rambutan. Aku melihat menjelang senja legiun iblis berlari-lari di lapangan dan mereka tampak berusaha mengejar aku dan Sonya.

“SEKARANG dengarkan seksama bunyi-bunyi apa pun yang belum pernah kau dengar. Aku yakin sejak dulu kau punya bakat mendengarkan suara-suara gaib!” Sonya memejamkan mata, “Kau dengar apa pun yang ingin dikatakan dan dilakukan oleh para pasien itu bukan?”

Kutirukan tindakan Sonya. Mula-mula aku memang hanya mendengar suara para pasien yang tengah mendengkur. Akan tetapi lama-lama kudengar berbagai suara yang dengan lembut menyusup ke hatiku. Aku mendengar dan tahu seseorang akan bunuh diri pada pukul 23.14. Aku mendengar dan tahu seseorang akan mencekik perawat pada pukul 09.46. Aku mendengar dan tahu seseorang akan memperkosa perempuan lain pada pukul 21.17 di toilet.

“Sekarang dengarkan apa yang akan dilakukan serdadu-serdadu Soeharto kepada kita…,” Sonya memerintah.

Tak kudengar apa-apa. Tak kudengar isyarat apa-apa.

“Jangan panik. Kadang-kadang kita memang tidak bisa menembus hati mereka. Dan memang ada kekuatan gaib yang membuat para serdadu itu tidak bisa kita baca. Tetapi tetap belajarlah terus melihat dan mendengar dengan hati. Kelak pada saat yang tepat kau akan melihat wajah Tuhan dan bisa bercakap-cakap dengan-Nya….”

“Bercakap-cakap dengan Tuhan?”

“Ya, mengapa tidak?”

Aku tak sanggup menahan tawa. Aku yakin saat itu Sonya sedang ingin bercanda denganku. Sonya tak butuh waktu lama untuk tahu kegelisahanku. Tak kuminta, dia menceritakan apa pun yang bisa dilakukan jika seluruh jiwa telah dipasrahkan untuk menyelamatkan Tuhan dari kerapuhan.

“Bahkan setiap hari melihat pertempuran Tuhan dengan iblis bukanlah hal sukar… apalagi hanya melihat dan mendengar Dia meminta pertolongan kepadamu?”

Aku hanya manggut-manggut mendengarkan khotbah Sonya yang memang meyakinkan itu.

“Justru yang paling sulit adalah mendengar suara hatimu sendiri…. Kau harus belajar keras untuk mendengarkan suara sejati hatimu….”

Aku tersenyum. Aku tak ingin mendengarkan suara hatiku. Malam itu aku hanya ingin mendengar suara Magdalena Markini, kakak perempuanku, yang dibakar hidup-hidup di halaman rumah oleh para serdadu hanya karena tidak mau menyebutkan di mana adik semata wayang yang dituduh sebagai pembunuh para jenderal itu bersembunyi. Aku bisa mendengar suara api yang membakar tubuhnya. Aku bisa mendengar bunyi tulang-tulang Magda yang remuk dan hangus dilahap api. Aku….

“Jangan terlena. Kau bisa menghentikan apa pun yang tak ingin kau dengar dan kau pandang?” Sonya memberi perintah penyelamatan.
Aku kaget. Aku merinding. Aku gemetar.


BERHARI-HARI, berminggu-minggu, oh, tidak, tidak, mungkin berbulan-bulan atau bertahun-tahun pada 1965-1971 yang konyol aku selalu gemetar, selalu merinding, selalu kaget oleh berbagai peristiwa yang kulihat dan kudengar. Tidak seperti Sonya, aku belum mahir mengendalikan apa pun yang menyusup begitu cepat ke hatiku. Soeharto tak tumbang-tumbang. Sukarno kian rapuh. Pembantaian terjadi di mana-mana dan aku serta Sonya masih belum bisa berbuat apa-apa.

“Tuhan makin keropos,” Sonya mengatakan padaku dalam nada sedih, “…dan kita kian tidak mampu menolong-Nya….”

Aku terdiam. Aku tidak pernah bisa membayangkan Sang Mahakuat tak mampu berbuat apa-apa menghadapi Lucifer dan para legiun iblis yang beringas dan tidak pernah berhenti menumbangkan Kerajaan Surga itu.

“Hanya ada satu cara untuk menghentikan semua ini,” Sonya berbisik di telingaku, “Pemberontakan harus dipercepat. Kita harus membunuh para iblis di rumah sakit jiwa ini.”

Aku masih terdiam. Tugas Sonya begitu berat untuk dilaksanakan. Aku justru kian sering mendengar serta melihat legiun iblis yang ingin membunuh Tuhan itu bersekongkol dan mendatangi kami malam-malam. Mereka berkali-kali menyuntikku dengan obat penenang. Mereka berkali-kali menyetrum Sonya yang meringis kesakitan.

Saat itulah aku kerap berteriak-teriak menjelang dokter datang, menjelang para perawat mengikat dan menyalibku di ranjang. “Masih sanggupkah Kau menolongku, Tuhan?” (*)


Semarang, Oktober 2012


Tentang Pengarang : Triyanto Triwikromo menerima Penghargaan Sastra Pusat Bahasa untuk kumpulan cerita pendeknya Ular di Mangkuk Nabi (2009). Novelnya, Surga, Busuk, menjelang terbit.

Sumber : Koran Tempo, 7 Oktober 2012
Share: