Jumat, 30 Desember 2011

 

Kritik Sastra Kreatif : Hubungan Resiprokal antara Penulis dan Pembaca

Scheme of Reciprocal Realtionships between Author and the Text


Saat menuangkan pengalamannya ke dalam karya (text), pengarang adalah individu yang menyalin ulang makna-mana kehidupan yang sudah mapan. Ia adalah pribadi yang melewati garis pemisah (before - after) antara kenangan hidup sebelumnya dengan realitas empiris dan hilang menjadi karya (text) dengan realitas imajinatif yang multitafsir. “Pengarang telah mati!” Pemaknaan atas eksistensi pengarang kini ia hanyalah sebagai ‘tulisan siap saji’ ditinjau dari perspektif kebahasaan. Misal, bila di dalam karya (text) ditemukan kata “saya / aku”, ternyata secara kebahasaan itu adalah “subject” dan bukan pengarang.

Benarkah demikian konsep pemaknaan dari Roland Barthes ini? Jika benar adanya, maka tak menutup kemungkinan tersedianya ruang bagi pembaca / publik sastra untuk mengapresiasi sekaligus membuat kritik sastra jenre baru, yaitu kritik sastra kreatif. Mengapa mesti ada kritik sastra kreatif? Mari kita diskusikan bersama.

Pertama, kita mesti memahami dulu bahwa sastra adalah “media” yang menyampaikan persoalan kehidupan. Persoalan kehidupan seperti apa yang dikemukakan oleh sastra sebagai fasilitator penulis kreatif sehubungan dengan keinginannya menuangkan dan merefleksikan pengalaman empiris pribadinya menjadi karya (teks) sastra?

Kalau kita menyimak bagaimana karya-karya sastra tertentu telah yang mendapatkan tempat tersendiri di hati khalayak pembacanya, kita dapat mengetahui bahwa sastra sebagai media menyuarakan masalah hidup yang bersifat universal seperti cinta kasih, kebahagiaan, kesepian, ambisi, kebencian, kejahatan, kesalehan individual mau pun kolektif, dan lain sebagainya. Melalui sastra, pengarang mencoba suatu pemberontakan atas keadaan yang menurut pengamatannya yang tersendiri dan sangat peka, keadaan yang ditemuinya sangat tak layak lagi. Ambil sebagai contoh, Andrea Hirata tahu bahwa pendidikan sangat penting dan perlu didukung sepenuhnya oleh pihak-pihak yang berkewajiban demi menciptakan generasi yang berpengetahuan dan intellektual. Pada aspek lainnya lagi, penulis kreatif ini menyadari bahwa ada permasalahan tentang kesulitan ekonomi kalangan tertentu untuk mengecap pendidikan. Hal ini menjadikan masalah yang menimbulkan perasaan nelangsa dan sedih, akibat simpatinya yang dalam terhadap golongan masyarakat kecil yang tersisihkan dan kesulitan untuk meraih pendidikan. Andrea Hirata berontak terhadap keadaan ini. Sastra memfasilitasi pemberontakan yang menggelegak dalam jiwanya. Namun, pemberontakannya terhadap keadaan yang menjepit kaum papa yang nelangsa untuk memperoleh pedidikan tak tercapai. Tetap saja ada pengabaian terhadap dukungan untuk memajukan pendidikan dari penguasa. Syukurnya Anis Baswedan bersama anak-anak bangsa yang mau turun ke pelosok seluruh tanah air menggalakkan gerakan “Indonesia Mengajar”.

Kembali ke persoalan tadi, bagaimana dengan Andrea Hirata? Ia mengalami nostalgia yang menimbulkan perasaan sedih dan syahdu karena cintanya terhadap sesama. Maka, jadilah karya-karya prosanya dalam bentuk novel tetralogi Laskar Pelangi.

Di lain tempat juga ada pemberontakan terhadap keadaan yang menyesengsarakan dan menimbulkan penderitaan bagi orang-orang kecil. Pada masa pengasingannya di Italia, Maxim Gorky berontak terhadap kemiskinan yang merajam kaum nelayan di teluk Naples. Melalui karya yang beraliran Realisme Sosialis dalam kumpulan cerpen Hikayat dari Italia, Gorky menyuarakan betapa pedihnya kehidupan kaum nelayan di sana, sekalipun mereka bekerja keras dengan susah payah, menurut Gorky perjuangan mereka tak lebih dari sekedar memendam penderitaan jauh ke dasar jiwa dalam mulut terkunci rapat. Sebab, kuku runcing kemiskinan tetap saja mencabik-cabik rakyat kecil yang sebagian besar adalah para buruh nelayan.

“Kadang-kadang orang mengerti bahwa ada sesuatu yang lebih baik tidak dikatakan.” (Maxim Gorky dalam cerpennya berjudul Monster)

Sastra sebagai media penyampai persoalan mendasar kehidupan yang dapat menimbulkan rasa sakit, tetapi juga rasa syahdu. Pengarang sastra mencoba menyuarakan hal ini. Namun, tiba-tiba sastra juga menyajikan perasaan senang luarbiasa akibat sugesti penggambaran suasana yang menggembirakan. Bahkan, sastra juga seringkali menimbulkan perasaan takjub ketika karya sastra mengilustrasikan “orang-orang yang baik luar biasa”, yang mungkin sangat mustahil ditemukan dalam kenyataan faktual sebenarnya hingga pembacanya akan berseru:

“Wah, kok bisa berbudi dan baik sekali?! Kayaknya hampir tak ada lagi orang yang terlampau baik seperti yang digambarkan cerita ini.”

Dari gambaran ini, kita bisa menyimpulkan bahwa semakin universal nilai kehidupan yang disuarakan sebuah karya sastra, maka semakin lepas ketergantungan karya sastra dengan bahan mentahnya,
yakni realitas empiris dalam kehidupan nyata. Sejak itu karya sastra menjadi dokumen abadi catatan pengalaman kehidupan manusia yang universal dan berlaku sepanjang masa. Apa buktinya? Mengapa kita masih mau membaca karya sastra yang usianya puluhan tahun, bahkan berabad-abad lamanya? Tentu karena karya sastra tersebut men-sedimentasi nilai-nilai universal kehidupan yang mampu memberikan hiburan tertinggi (the highest pleasure for soul) dan memberi pengajaran (effectively sharing the wisdom for human beings).

Kedua, setelah kita mendapat suatu pemahaman tentang peran sastra yang merefleksikan kembali melalui kerja kreatif pengarang sastra, kini kita tiba pada pembahasan kedudukan pembaca sebagai apresiator dan sekaligus kritikus karya sastra. Kita sudah paham bahwa penulis sastra adalah “perancang jiwa” masyarakatnya. Dalam fungsinya ini, tentu secara timbal balik membutuhkan peran khalayak pembaca sastra sebagai reseptor yang menerima pesan nilai-nilai universal kehidupan yang hendak disampaikan pengarang. Tanpa pembaca sastra, dijamin bahwa pengarang akan mati kutu, memeluk lutut dan menepuk-nepuk jidat berkali-kali; karena merasa gagal merealisasikan niatnya untuk menyampaikan pendapat mengenai kehidupan yang diamati dari sudut pandang pengalaman empirisnya melalui karya yang ia tulis. Wah, berarti pembaca lebih penting kehadirannya daripada pengarang yang mau menyampaikan makna kehidupan yang terekam kembali lewat karya sastra. Benar sekali! Di atas saya telah sengaja mengutip konsep pemikiran ahli semiotik Perancis Roland Barthes. Dalam skema yang ia ajukan tentang otonomi karya sastra dijelaskan bahwa karya sastra begitu selesai dilepaskan penulisnya ke ranah publik, maka karya (teks) sastra seutuhnya menjadi milik pembaca. Karya sastra sebagai teks mendapat makna dari pembacanya yang menafsirkan. Tanpa pembacanya, karya sastra hanyalah sederet aksara tanpa makna apa pun. Mengapa demikian? Menurut konsepsi Barthes, pengarang semata-mata menyalin makna-makna kehidupan yang sudah sebelumnya ketika ia menafsirkan kembali realitas empiris dalam kehidupan sehari-hari. Pengarang hanya menuangkan kembali hasil pembacaan atas teks besar / realitas faktual yang tersedia di semesta. Lalu, menyampaikannya kepada khalayak pembaca sebagai teks hasil reproduksi yakni karya sastra. Ambil contoh mudah saja, misalnya ada pengarang sastra yang lajang habis bersitegang dengan kekasihnya akibat prasangka yang mengandung bias ide: hilangnya cinta dan kesetiaan dalam diri sang kekasih. Lalu, ia suarakan melaui puisi pendek:

Setelah usai badai,
masihkah ini perahu menuju
ke daratan pulau cinta nan damai?

Pembacanya kemudian menafsirkan dengan onomatope singkat: Hikss. Maka, kita bisa mengatakan bahwa pembaca karyanya telah memaknai teks sebagai dunia yang mengandung kedukaan nan syahdu. Pembaca lainnya lagi mungkin menafsirkan dengan bentuk onomatope lain: wkwkwkwkwk. Kita pun bisa mengasumsikan bahwa pembaca satu ini mungkin sedang menyangsikan kesedihan yang disuarakan pengarang sastra. Dan, bisa jadi menurut dia sebagai reseptor pesan karya sastra, teks bermakna kegembiraan yang berlebihan untuk menutupi kesedihan. Atau, bisa jadi pembaca yang satu ini teringat pengalaman pribadinya bahwa ketika ia diajak orang terdekatnya berburu ke hutan, ia tersesat dan ditinggal oleh orang yang mengajaknya. Kemudian, terdengar olehnya monyet-monyet besar jenis beruk bersuara “wuakakakakakak” sebagaimana yang diungkapkannya kembali melalui onomatope yang lagi lazim dipakai lingkungan sosialnya untuk memaknai karya. Dalam konteks ini, kita bisa tahu bahwa suatu penafsiran karya sastra yang dilakukan pembaca, ini tak dapat disangsikan lagi sebagai wujud kegiatan abstraksi ulang atau pembayangan kembali realitas empiris dalam kehidupan yang digambarkan teks.

Ketiga, berbicara tentang peranan pembaca sebagai kritikus sekaligus apresiator karya sastra maka kita tak bisa mengabaikan pembicaraan tentang pengalaman estetis personal dan nilai-nilai sosial budaya yang dianut pembaca secara turun temurun. Sebagai apresiator karya sastra, pembaca memiliki konsepsi pemahaman tersendiri tentang estetika ketika ia memaknai karya sastra yang dibacanya cukup menggugah dan membuatnya merasa nyaman, bahagia, sedih dan ikut bersimpati. Tetapi, bukan bersimpati terhadap si pengarang sastra. Mengapa? Karena pembaca mengapresiasi teks sastra yang sedang ia baca, dan ia mengalami secara psikologis dikenal sebagai: identifikasi diri. Pembaca mengapresiasi dan menenggelamkan dirinya sendiri ke dalam realitas imajinatif karya sastra yang bersifat otonom. Saya pun mengakui hal ini. Ketika saya baca karya dari John Steinbeck, The Pearl, saya tak bersimpati terhadap Steinbeck sebagai pengarang. Saya malah bersimpati terhadap Kino, tokoh utama cerita yang mengalami nasib tragis. Saya sedih melihat anaknya Coyotito yang tewas akibat tersengat kalajengking dan saat dibawa ke dokter, sang dokter mengabaikannya karena merasa Kino dan istrinya Juana berasal dari kelas bawah (sahabat yang dari Sastra Inggris pasti memahami kisah ini, karena ini bacaan wajib kedua setelah The Graphs of Wrath, ketika membahas school of thougths dan Realisme Sosialis di Amerika). Mengapa saya sebagai pembaca tak bersimpati terhadap Steinbeck? Saya pikir kurang kerjaan, karena saya tidak mengenal dia. Selain itu saya merasakan nilai-nilai estetika yang membuat saya memiliki perasaan dan pkiran tertentu tidak terkandung di dalam diri Steinbeck sebagai entitas. Tapi, saya merasakan sentuhan pengalaman estetis dan trance melalui identifikasi diri saya ke dalam persoalan yang dialami Kino dan keluarganya yang tertindas. Lalu, pengalaman estetis apa yang menyentuh saya tadi? Tentu hal ini akibat ‘The Pearl’ sebagai objek ciptaan Steinbeck yang menghasut saya turut serta terlibat menanggapi sisi-sisi kemanusian yang tengah saya cerap melalui proses pembacaan komprehensif. Saya dengan latar belakang sosial budaya tersendiri seperti diajak kembali melihat bahwa sesungguhnya ada nilai-nilai keindahan ketika seorang manusia berjuang untuk mendapatkan hak hidup dan bisa menjadi bijaksana walaupun harus menerima dengan nelangsa kehilangan orang terkasih (di akhir cerita digambarkan tokoh utama membuang mutiara yang ia dapat, mutiara dalam konteks ini menjadi simbol bahwa materi bukanlah tujuan akhir bila seorang manusia harus mengalami penderitaan karenanya).

1. Baca dan pahami maksud berserta pokok persoalan yang dikemukakan teks sastra, dengan tujuan menemukan apa saja nilai-nilai universal kehidupan yang dimuat di dalamnya.

2. Berikan pendapat orisinil / asli, dan bukan pendapat yang ikut-ikutan, tidak terkesan sibuk mempertahan pendapat orang lain sekalipun ia tokoh sastra dengan alasan apa pun. Hal ini bertujuan untuk melakukan abstraksi (pembayangan kembali realitas empiris yang direfleksikan teks sastra), melihat dengan jernih apa saja kelebihan dan kekurangan yang ada dalam karya untuk diambil manfaatnya: merasa terhibur dan dituntun oleh pengalaman-pengalaman berharga yang diilustrasikan (mengingat peran fungsional utama sastra adalah menghibur dan mendidik khalayak pembaca.).

Demikian usulan saya sehubungan merealisasikan kritik sastra kreatif yang tercipta dari hubungan resiprokal antara penulis dan pembaca. Ya, memang kita harus akui setiap insan memiliki perbedaan pandangan dan latar belakang sosial budaya masing-masing. Namun, kita yang memiliki perbedaan ini tetaplah menyatu. Kita menyatu dalam cinta. Sastra adalah cinta yang membuat kita bersatu mencari jawaban kegelisahan hati.
Share: