Selasa, 06 Desember 2011

 

Kembang - Sebuah Esei dari Goenawan Mohamad

Kembang
Senin, 18 Juli 2011

Mao Zedong tiba-tiba berbicara tentang kembang krisan. "Tahukah tuan, apa sebutan kembang krisan di Pameran Hangzhou belakangan ini? Sang penari mabuk, kuil tua di bawah matahari senja, sang pencinta yang membedaki sang kekasih."

André Malraux mencatat kata-kata itu dalam Antimémoires, di bagian ketika ia mengenang pertemuannya dengan para pemimpin Cina pada tahun 1960-an.

Hari itu Mao rupanya hendak mengumpamakan masyarakat sebagai kembang krisan, sebuah organisme yang tak sederhana. Masyarakat adalah wilayah di mana "penari" dan "mabuk", dua hal yang tak pas, bisa terjadi di satu wadah: "Bukan mustahil kedua tendensi itu hadir, dan banyak konflik yang tersimpan," katanya.

Perumpamaan, atau kiasan, adalah bagian yang wajar dalam percakapan Mao; ia penyair. Dengan kiasan, satu ide ("masyarakat") ditampilkan sebagai sesuatu yang bisa ditangkap pancaindra, dalam wujud imaji: "penari mabuk", "kuil tua". Dengan kiasan, satu ide dianggap akan bisa lebih terbayangkan.

Tapi puisi dan kiasan juga bisa membuat sebuah konsep tak stabil acuannya. "Penari mabuk, kuil tua di bawah matahari, sang pencinta yang membedaki kekasih…". Mao memilih imaji-imaji itu (jika kita percaya kepada kutipan Malraux), dan dengan itu memang orang bisa tak pasti tentang bagaimana seharusnya memahami sebuah "masyarakat".

Mungkin karena Mao tahu: sebuah masyarakat memang sesuatu yang tak mudah dirumuskan. Sebuah masyarakat selamanya kompleks, rumit hubungan-hubungannya, beraneka tendensinya, dan tak mandek. Hanya pikiran kita yang menangkapnya sebagai satu organisme yang tersusun.

Mao seorang Marxis. Ia bisa melihat, dalam tiap hal yang bisa diidentifikasikan—"masyarakat Cina" atau "kembang krisan"—ada yang luput dari identifikasi itu. Katanya kepada Malraux: "Tuan telah melihat satu sisi. Sisi yang lain mungkin lepas dari penglihatan."

Ia memang berakar dalam tradisi Materialisme; ia menampik pemikiran Idealis. Materialisme melihat dunia, apalagi sejarah, sebagai arus yang tak konsisten, yang bahkan tak cuma punya dua sisi. Sisi itu tak terhingga. Manusia kemudian memberinya bentuk, merumuskan, dan mengarahkan. Tapi dialektika ini tak pernah tuntas.

Sebaliknya, bagi filsafat Idealis, dunia adalah perwujudan dari Ide yang utuh dan abadi. Apa yang ada ("masyarakat Cina") dianggap sudah dicetak dengan esensi yang tetap. Idealisme percaya bahwa kesadaran manusia yang rasional, seakan-akan didukung oleh kekuatan sabda yang transendental, bisa membentuk apa-yang-ada. Bentuknya konsep-konsep. Dengan konsep itu aku merengkuh dan memasukkan dunia ke dalam diriku. Idealisme mirip kegairahan pikiran yang mengremus dunia: "Idealismus als Wut," kata Adorno, pemikir yang menunjukkan cacat besar filsafat ini.

Dalam menampik pemikiran Idealis, kecenderungan puitik Mao bertemu dengan pandangan Marxisnya. Seorang Idealis akan mengatakan, "Aku berpikir, maka aku ada." Seorang Marxis, "Aku ada, maka aku berpikir." Pikiran lahir dari hidup yang dialami, dari tubuh, benda, dan bahasa. Maka Marxisme Mao bersentuhan dengan realitas yang konkret. Malraux mengutipnya: "Tak ada Marxisme yang abstrak. Hanya ada Marxisme yang konkret, yang disesuaikan dengan kenyataan Cina, dengan pohon-pohon yang telanjang, sebagai telanjangnya rakyat yang sibuk memakannya."

Pohon-pohon yang telanjang….

Tapi, apa boleh buat, Mao bukan hanya penyair. Ia pemimpin revolusi yang harus menaklukkan: mengalahkan musuh, gua-gua Yenan, arus Sungai Yangtze, kemiskinan dan ketidakadilan di dusun-dusun—bahkan, kemudian, dalam "Revolusi Kebudayaan", menghancurkan markas besar Partai Komunis Cina sendiri. Ia harus mengukuhkan diri sebagai Subyek (dengan "S") yang mengremus obyek-obyek, melulur liyan.

Untuk itu, Mao membuat doktrin yang mengukuhkan dirinya. Cetusan pikirannya dicetak dalam "Buku Merah". Berjuta-juta orang harus menghafalkannya. Di masa "Revolusi Kebudayaan", para "Pengawal Merah" bahkan berlomba menghafal buku itu terbalik dari huruf terakhir ke pagina depan. Ada petani yang percaya, dengan membaca "Buku Merah" di dekat pohon limaunya, tanaman itu akan berbuah cepat.

Di situ semangat Materialisme mati. Benda-benda konkret dianggap bisa dikuasai pikiran sang Ketua. Sang Ketua seakan wujud transendental, di luar dunia yang rumit, di atas organisme apa pun.

Mao wafat 1976. Tapi ia roh agung yang tak bisa mati. Minggu ini Partai Komunis Cina berumur 90 tahun. Partai itu tetap mengutip Sabdanya—seakan-akan untuk menebus dosa Cina yang kini menempuh jalan kapitalisme yang dulu dikutuk. Marxisme jadi agama. Seperti agama lain, ia punya penafsir baru dan juga kaum munafik. Seperti agama lain, Marxisme Cina yakin: "Pada mulanya adalah Sabda," dan dari sabda terjadilah dunia.

Dengan kata lain, hidup bergantung pada Sabda, tunduk pada Kata. Kata tak lagi datang dari hidup yang dijalani, hidup yang kompleks, yang berubah dan tak terumuskan—sesuatu yang dulu bisa dicitrakan sebagai "penari mabuk, kuil tua di bawah matahari". Kini, Kata seakan-akan berdiri sendiri. Berwibawa, tapi beku. Ia mantra, juga berhala.

Tak mengherankan bila kini penguasa Cina bisa cemas dengan "melati". Setelah "Revolusi Melati" merebak di dunia Arab, dan kata itu muncul di kalangan mereka yang menuntut demokrasi di Cina, kata "melati" dihapus bahkan dari lagu Mo Li Hua. Tak cuma itu: para petani Daxing tak bisa menjual kembang yang disebut demikian.

Syahdan, ada yang berubah. Dulu "krisan" terbit dalam jiwa kreatif yang berpuisi. Kini "melati" jadi teror bagi jiwa yang takluk, yang menganggap Kata makhluk sakti, asing, tanpa bumi.

Goenawan Mohamad
*** sumber tulisan dari sini
Share: