Minggu, 04 Desember 2011

 

Arok ─ Sebuah Esei dari Goenawan Mohamad

Arok
Oleh : Goenawan Mohamad
Senin, 21 November 2011

Seperti orang lain, saya ingin menulis tentang Ken Arok: perampok dari Pangkur, pembunuh yang tak takut, perancang kekuasaan yang membuat sejarah jadi cerita tentang ambisi dan kematian.

Tentu saya tak bisa menulisnya seperti Muhammad Yamin pada 1928, masa kebangkitan nasional: Ken Arok dan Ken Dedes-nya berakhir dengan sang tokoh rela ditikam untuk menjaga persatuan sebuah negeri.

Saya juga tak akan bisa menulisnya seperti Pramoedya Ananta Toer. Dengan tepat dan tajam Pramoedya menunjukkan, takhta dan kasta adalah tempat yang oleh sejarah bisa diisi siapa saja, juga oleh seorang sudra seperti si Temu. Orang yang kemudian jadi Arok ini tanpa "sedikit pun darah Hindu dalam dirinya," seperti disebut dalam Arok Dedes. Tapi tokoh Pramoedya, yang berhasil mengenal 100 ribu bait Mahabharata, adalah pembangun kerajaan, justru karena ia di luar klasifikasi sosial dan keyakinan di masanya.

Ken Arok yang ingin saya tulis akan lain. Hari ini kita butuh kiasan yang berbeda.

Sebagian akan saya ikuti Pararaton, riwayat hidup si berandal yang kemudian mendirikan Kerajaan Singasari itu. Dalam naskah dari abad ke-15 itu diceritakan, bahkan sebelum ia menitis sebagai Arok (ditulis "Angrok"), ia sudah orang yang "berperilaku tak baik, memutuskan kendali kesusilaan, jadi pengganggu Hyang yang gaib", lumaku tan rahayu amegati apusira pinakapamañcananing hyan Suksma.

Kemudian ia dilahirkan kembali di Desa Pangkur, di wilayah Tumapel. Tapi tak lama keluar dari rahim, oleh ibunya—yang mengandung karena perselingkuhan (dalam Pararaton disebut perempuan itu dihamili Dewa Brahma)—ia dibuang di sebuah pekuburan anak-anak. Seorang pencuri menemukannya dan membesarkannya. Dan Arok pun tumbuh jadi penjudi, perusuh, pemerkosa, yang berkali-kali dikejar dan diburu, tapi selalu lepas.

Kata sang pencerita, dewa-dewa menolong menyelamatkannya.

Mithos sering punya keganjilan yang arif: dewa-dewa tak peduli akan "kebaikan" dan "kejahatan". Mungkin karena semua itu akhirnya membingungkan, di sebuah masa ketika sistem keyakinan tak bisa utuh lagi. Pararaton ditulis ketika agama Hindu bersilang-selisih, dan tentu saja bersentuhan, dengan Buddhisme. Dalam keadaan itu, kekuatan yang berhasil—bukan sistem keyakinan—adalah yang dianggap penentu sejarah. Maka sejumlah orang pun menyingsingkan desain kekuasaan. Seperti hari ini.

Dalam Pararaton kita temukan imaji yang destruktif di sekitar sang tokoh—bagian dari karisma dan apa yang dianggap nubuat: orang luar biasa ini kelak punya kekuasaan yang brutal dan ekspansif.

Maka saya akan memulai cerita saya dengan satu adegan malam: Arok terbaring tidur. Pada saat itu, dari ubun-ubunnya keluar beratus-ratus kelelawar, hitam, tanpa henti. Pararaton melukiskannya dalam satu kalimat Jawa Kawi yang lugas: "lalawah metu saking wunwunanira Ken Angrok adulurdulur tanpapegatan". Tapi di situ kita lihat satu momen yang ajaib, seram, dan ganas: imaji yang menggambarkan hasrat yang tak pernah puas untuk merebut dan mengerkah.

Jika nanti saya menafsirkan Pararaton, pembaca tentu telah mengenal Macbeth. Dalam lakon ini Shakespeare juga menampilkan hasrat yang tak pernah puas, tapi juga tak tenteram: sebuah keadaan tragik, bukan kisah yang heroik.

Sebab Arok, bagi saya, adalah makhluk yang keluar dari cermin, tempat kita berkaca. Di sana tersimpan tuah dan tulah. Saya sebut "tuah" karena, dengan hasrat yang membuat kita perkasa, kita mampu melakukan yang hampir mustahil; "tulah" karena itu bisa merupakan kutukan. Dalam Pararaton, Arok bisa terbang dengan bersayapkan dua helai daun tal. Ia melampaui kemampuan manusia biasa. Tapi itu juga awal dari tulah yang membentuk dirinya: ia tidak hanya melampaui apa yang fisik, tapi juga melampaui keinginan orang kebanyakan; dengan itu ia mulai jalan ke kematiannya sendiri.

Orang ini dengan gampang membunuh. Ia tikam Empu Gandring, sang pembuat keris. Kesalahan orang tua ini hanya terlambat menyelesaikan kerjanya yang didesak-desak itu. Kita tahu, Arok tak punya kesetiaan kepada siapa pun. Ia selalu siap berkhianat dengan menumpahkan darah.

Pada satu tahap dalam hidupnya, ia meninggalkan dunia kriminal. Ia tak lagi di luar tata sosial. Ia diterima dan dipercaya sebagai pengawal penguasa Tumapel, Tunggul Ametung. Tapi pada suatu malam yang gelap, ia bunuh akuwu itu. Setelah itu, ia korbankan Kebo Hijo. Pemuda ini dihukum mati karena dialah yang dituduh sebagai si durjana. Arok tak membelanya. Meskipun Pararaton menyebut Kebo Hijo punya hubungan cinta (asihsihan) dengan dirinya.

Arok dan Macbeth: para peraih. Macbeth memulai serangkaian pembunuhan untuk meraih takhta dan mempertahankannya. Dan ia coba menghalalkan semuanya dengan sikap seorang nihilis, meskipun ia sedikit gemetar. Tak ada nilai, tak mungkin ada makna. Merisaukan. Tapi akhirnya kesimpulannya suram: hidup hanya sebuah kisah yang disampaikan seorang idiot, "penuh hingar dan murka, tanpa arti apa-apa".

Pada Arok, nihilisme itu dikukuhkan Lohgawe.

Lohgawe, seorang pendeta dari seberang, mendampinginya. Tapi bahkan dengan keyakinan agama yang dibawanya, baginya Arok hanyalah sebuah proyek kekuasaan. Agama hanya berarti jika masa depan adalah kemenangan.

Demikianlah pada suatu hari pemuda itu datang mengungkapkan niatnya menghabisi Tunggul Ametung, untuk merebut istrinya, Ken Dedes. Nasihat Lohgawe ambigu: "tan ulahaning pandita, ahingan sakaharepira". Ia orang suci, tak bisa memberi Arok restu untuk kejahatan itu; tapi ia persilakan Arok melakukan apa yang dikehendakinya.

Dan yang ganas pun terjadi. Dan kita yang kenal kisah Ken Arok tahu: kebrutalan dan ambisi itu berjalin, terus.

Goenawan Mohamad

*** sumber tulisan dari sini
Share:

0 komentar:

Posting Komentar