"Engkaulah pahlawanku.."
Jasamu membuat kaum wanita sejajar dengan pria,” seru Susi begitu bersemangat membaca puisi. Perangainya seperti penyair kawakan yang terhisap penghayatan tiap makna kata baris-baris puisi.
“Ngopo toh Nduk.. Teriak-teriak tengah hari gini! Wis mangan, ora?” tegur Mbak Marni yang baru saja pulang jualan jamu di Terminal Rajabasa.
“Ai, emak ni.. Aku mau belajar puisi digangguin.”
“Yo wis, toh. Baca lagi puisine. Emak pengen denger.”
Mendapat dorongan semangat dari ibunya, Susi mulai membaca lagi puisinya. Ia ingin membuat Emaknya terkesan dengan gaya deklamasinya. Ia naik di atas dipan kayu di sampingnya. Menunduk sebentar. Hening sengaja ia ciptakan. Seakan tengah sibuk memusatkan perhatian, mengingat-ingat kata dan tekanan suara untuk puisinya.
“Lha, kok lama bener sih, Nduk?”
“Sabar toh, Mak! Aku lagi konsentrasi!”
Senyum dikulum Mbak Marni melihat gaya buah hatinya itu.
“Marni..
Engkaulah pahlawanku
Tiap hari selalu menjaga diriku
Begitu rela dirimu berpeluh
Menghirup udara kotor Terminal ‘tuk berjualan jamu
Agar aku bisa makan dan tetap berada di sampingmu
Marni..
Engkaulah pahlawanku
Dirimu begitu berjasa bagiku
Biarpun kini bapak telah pergi
Aku punya dirimu yang selalu mengasihiku
Terima kasih, Marni..
Ibundaku, juara satu di seluruh dunia ini,” dengan suara tertahan isak, Susi mengakhiri puisinya.
0 komentar:
Posting Komentar