Rabu, 02 November 2011

 

Kumpulan Puisi

1. Ingatkan Kami, Wahai Dzat Yang Maha Tinggi

Ketika kami mabuk atas kekaguman,
pujian, pengagungan dari tiap perbuatan
yang mungkin zahirnya sempurna
dalam mata lamur kami yang terlena

Ingatkan kami, wahai Dzat Yang Maha Tinggi..

Tidaklah pantas diri kami aniaya
lupa asal-usul dari yang terhina
segumpal lumpur diangkat, yang ditiupkan
pinjaman ruh-Mu pada jiwa raga insan

Sungguh segala kemampuan berpangkal mula
sebab kemurahan-Mu akan karunia mencipta
yang telah Engkau rahmatkan
agar terang segala yang dijadikan.

Ingatkan kami, wahai Dzat Yang Maha Tinggi..

Saat peringatan itu bermanfaat
membuat kami tunduk patuh
melenyapkan walau sebutir angkuh
dalam kalbu kami yang berkarat

Sungguh azab-Mu teramat sangat pedih
ketika diri kami yang lalai
setengah mati setengah hidup merasai
dalam Jahannam tempat kembali paling buruk lagi mendidih

Wahai, Dzat Yang Maha Tinggi..

Jauhkan kami dari ingkar
kesombongan yang kian membesar
ketika sekeping harta pengetahuan-Mu
melenakan kami hingga melampaui batas wajar.

Betapa kami tahu dan menginsyafi:
Engkau tak suka hamba-Mu yang keluar ukuran
Berlaku melewati batas-batas kewajaran
Sungguh yang kami inginkan hanyalah ridho-Mu, Yaa, Al-Rafi'


2. Selamat Tinggal Makam Agung!

Baiknya kuceritakan saja semua.
Bulat utuh, tak berparuh
apa adanya tak kututupi!

Kau ikuti jalan lurus itu,
hatimu kuat sampai tujuan:
berubah jadi induk subur
berkembang-biak, banyak beranak-pinak.

Kau bisa tenang hidup di peternakan tradisi!

Aku ini mungkin Hiu!
Suka sekali berenang-renang
mengarungi lautan biru tenang
pastilah sukar kau kejar-kejar
nanti napasmu tersengal-sengal.

Jiwaku bebas!
Kau tahu itu sedari dulu, bukan?

Tempat yang begitu jauh
begitu terpikat hatiku menempuh
kutunggangi kuda waktu memburu
suatu siang yang memanggang
ketika matahari tampak garang
mengeringkan samudra, aku tinggal tulang!
Tentu ini bisa kau kisahkan dengan haru
untuk mengikis kenang cinta yang riang.

Sadarilah, aku satu yang beda!
Bukan berada di atas panggung yang sama.
Bila pernah seiring sejalan,
mungkin sekedar babak tambahan
bumbu cerita yang lupa diselipkan,
biar betah mata menyaksikan,
atau hati terasa terkesan:

Drama dua ekor monyet norak memamerkan bokong tepos di atas panggung tinggi,
dan merangkai adegan demi adegan tentang birahi romansa merah muda!

Baiknya aku sudahi saja!
Semoga kau bisa pahami:
 
aku ini hanya peziarah berkunjung ke makam jiwamu yang agung,
tak diragukan lagi - aku rusuh tak kepalang tanggung!


3. Syukur

:dan ketika ujung keheningan terlampau keramat
menerbitkan Mentari, fajar telah bangkit menggeliat.

Laut tenang mendesah berat
dibangunkan cercah rona menawan semburat,
menuntun nelayan dengan berkat
riang berbiduk membawa sekeranjang nikmat
buah tangan kekasih menanti di darat.

"Alhamdulillah, masih sehat wal'afiat!"


4. Diam

Berkilau laksana intan
batu nan mulia padat yang begitu bercahaya.

Orang pun mengerti:
Kadangkala sesuatu lebih berarti
bila tak diujarkan.


5. Rahasia

Amuk badai susah payah diredam
bersemayam dalam dada lebam
sesak mendesak membuncah pecah.


6. Rengkuhlah Aku

Semerdu tembang nan syahdu
Sepekat kelam yang padat
Seliat logam tembaga
Setebal mantel Bumi
Sekelam palung laut nan dalam

Percayalah..
Aku masih ingin satu
tak pernah cukup
kecuali terbius tatap matamu
setajam pisau samak
mengulitiku.


7. Riuh

"Apa sebab mantraku gagal melelapkanmu?" keluh malam.

Kehilangan galir sihir
keheningan teramat keramat
telah pula menjelma seriuh pasar
tawar menawar kejar mengejar
hiruk pikuk mencapai kesepakatan bulat.

"Bagaimana bisa kupejamkan mata?" tanyaku.


8. Eksploitasi

Harapan masih tersangkut nun jauh di lengkung langit.
Apa yang bisa dilakukan upah?

Takdir berkata pasrah:
"Hidup dan mati untuk melestarikan parasit-parasit!"

Pengurasan tenaga hingga keringat menitik darah,
lelah pun telah kehilangan rumah
memaksa tubuh lemah berpindah
tempat istirah:

"Lembah suram tulang-belulang!"


9. Terima Kasih Kepada Rasa Sakit

Terima kasih kepada rasa sakit:
tanpa sungkan menarikku bangkit
kini seperti tak bertabir, terang sekali
semua rahasia menumbuhkan sadar yang menggigit.

Dan aku harus mengenali
atau mesti melihat kembali
pengertian tentang rasa peduli
utuh, apa adanya tanpa hiasan sama sekali.

Aku pun berharap rasa sakit akan menjadi topan
kelak itu terjadi, kubiarkan diriku terhisap kuat pusaran
melemparkanku tepat pada sumber awalnya
agar aku diberi kesempatan menghujani dengan tanya.

Terima kasih rasa sakit,
kini aku berdiri dan bangkit!


10. Terpikat

jangan lama kau tatap
bila kau hanya mau mengecap
betapa sedap yang apa kau lihat
hingga terkesiap, dirimu terpikat

lalu hendak kau paksa turun
bintang gemintang, bulan redup sendu,
juga malam yang manyun
sebab luput bercahaya dan mendayu syahdu

dari mata memandang
biasanya benak akan melayang
membangun impian dengan titian harapan
berangan jauh, jauh sekali dibalik awan

tanpa disadari kau bersahabat
dengan khayal dan impian menawan
lupa mengukur berapa jauh jalan merentang ke depan
dan menuruti nafsu dahaga keindahan menjerat

ah, kawan, kau sudah tahu
semua berawal dari tatap mata merindu
godaan, ketergesaan dan pesona memaku
mengkelami pikiran hingga jiwa terganggu


11. Cermin

Air tenang jernih
cermin jujur memantul kemilau
saat pelangi melengkung memukau
pada lembayung lembab di sini.

Masih kau cari wajah
rupa yang selalu lupa
darimana asal mula pijar warna
semua berawal dari satu.

"Dimana wajahku?" tanyamu takjub.

Gembung membengkak
saat air mulai beriak
kau tetap saja sibuk menyibak
galau datang, lantang kau teriak:

"Jangan pernah bercermin di permukaan air;
riaknya yang tiba-tiba, membuatmu tersedak!"

Tapi air tetaplah cermin yang jujur:
melukis seksama tiap lekuk dan alur,
di langit memendarkan warna putih,
di sini menerbitkan rasa yang menindih.


12. Di Jalan Ini


Rindu telah menumpuk di lubuk hati
mengalir dan merajai tiap pembuluh nadi.
Sinar terang hidayah selalu ditunggu menyuluhi
agar tiap langkah tiada sesat, insyaf akan fitrah suci
berada di bawah naungan-Mu, yaa, Rabbi.

Sungguh, betapa banyak orang menginginkan:
kebaikan dari petunjuk-Mu yang lurus,
pedoman yang jelas,
bukan tafsir yang berbias
menuntun tiap laku mencapai keridhoaan.

Namun, keengganan mengikis tebal karat hati
serupa lembut rayuan kekasih yang birahi
tak mampu ditepis hingga lupa diri.

Dan ijtihad terlalu berat
saat hawa nafsu masih melekat
merantai kaki dengan belenggu kukuh kuat.

Maka jihad seumpama gemuruh medan pertempuran:
dalam debu menggunung, luput meraih kemenangan,
sebab hawa nafsu dinding penghalang
terlalu tebal untuk ditentang.

Hanya pada-Mu, Yang Membukakan Pintu Hidayah
jiwa dan hati akan diterangi inayah
juga pengorbanan akan tampak begitu indah
Firdaus menawan sebagai ganjaran upah.    


13. Tentang Do'a

Do'a do'a melayang dipanjatkan
meniti tangga tujuh lapis langit
menuju singgasana Yang Maha Mendengar Permintaan.

Ketika tertolak
dikembalikan ke hati yang meratap
telak seperti mata tombak menusuk jantung,
seolah kata-kata dalam tiap do'a
gagal mengadu untung
melahirkan harapan yang buntung.

Bukan, kawan, bukanlah tiap do'amu terabaikan.
Juga tak mesti memotong tangan panjang keinginan
menyentuh cahaya pencerahan.
Tidak pula karena Tuhan terlalu sibuk,
mengurus mahluk.

Dia hanya membuat penangguhan,
tentang terkabulnya sebuah permohonan:
apa sanggup sipeminta-minta berurai air mata
mensyukuri tiap nikmat yang telah diberikan
tanpa banyak kata
atau keluh
melapukkan asa hingga rapuh.


14. Kepada Malam

Maka kepada malam
lahir dari rotasi Bumi ini
mengajarkan pada Matahari
ada masa hening dan kelam
bermaharaja dalam kerajaan misteri.

Malam merayuku, ah tidak, permadani pekatnya membaringkanku.
Terlentang, kedua mata pun menerawang,
terbukalah lembar-lembar buku pencatat
lalu bulir-bulir bening gugur dan terasa asin, suara tercekat.

Aku kira bukan sesal berjejal
hanya seperti peziara mendaki kaki bukit terjal
menuju pekuburan di puncak waktu yang berlalu
tempat setiap orang menanam dalam-dalam kenangan yang balu.
Ini semua karena malam membantuku!

Bahkan setelah itu,
saraf-saraf juga membariskan kembali segurat ingatan
aduhai, mereka duduk hikmad bersaf-saf, diam membatu.
Bagaimana tak kucintai tiap malam?
Heningnya selalu mengajakku jauh menyelam
memungut mutiara di palungnya yang terdalam
dan saat kugenggam,
semburat sinar fajar baru.


15. Wahai Malam

Engkau tahu betapa setia diriku
tak sampai hati membuatmu sendiri.

Juga saat ini
ketika semua orang tega meninggalkanmu
termenung dalam pekat padat membatu,
hanyalah diriku yang mengelus keberadaanmu.

Bila, engkau, malamku,
jelmaan perempuan molek nan ayu,
hanya satu inginku: mengusap rambutmu,
tapi tolong jangan ada kutu,
aku tak suka rambut berkutu, ya, malam beku..

Dan ketika engkau bertanya padaku:
"Aduhai, kekasihku yang setia..
 Apa gerangan dikau selalu menyuruhku
mandi cahaya rembulan pucat malu-malu itu?"

Ketahuilah malam, kekasih tumpuan hatiku,
ini demi semerbak wangi merubungi
sekujur tubuhmu misteri.

Lalu,
akan kujawab mandi cahaya rembulan pemalu:
itu baik bagi kesehatanmu,
juga murah meriah dibanding mandi susu,
di Salon, Spa dan Sauna yang pengap itu.

Maka malam, tetaplah bersamaku
kumohon padamu, dan engkau jangan sungkan menyambutku.
Bukan karena aku penderita insomnia menahun,
juga tidak disebabkan warna hitam di Jazirah arab
berarti keagungan yang ditanggap
dengan hikmad dan penuh takzim penghormatan.

Namun malam sambutlah aku
serupa penyambutan pertama
dari bayi yang menjerit pada kelahiran awal
dengan seruan kata-kata suci, mantra yang jitu.


16. Jangan Sakit lagi, Ya Mak..

umurmu belum terlalu senja
cahaya yang masih benderang
seperti matahari yang tanggung pulang:
ingat, beberapa tetumbuhan
belum sempat makan kau punya berkah
dan masih butuh lebih lama diterangi
demikian juga aku, mak
mungkin belumlah berbalas untuk segala kebaikanmu
maka aku masih ingin bersamamu
meminum air sejuk nasihatmu,
menelusuri terang jalan kehidupanku yang kau suluhi
juga tangan dinginmu mendidikku

ketika kemarin kau terkulai lemah
badanmu seperti api, matamu hampir saja redup
aku hanya bisa menatap dalam harap

dan Tuhan ternyata sedang mencoba kita ─ begitu katamu
tapi aku tahu kau mau menghiburku yang masih saja cemas
aku serapuh ranting kering yang terombang-ambing di pusar angin.

kini semua duri khawatir telah sedikit berkurang
bukan seperti waktu itu
ketika jiwaku dan anakmu yang lain
merasakan duka yang teramat dalam

aku hanya berharap sedikit saja memberimu
walau kau tak pernah menuntut sesuatu pun dariku

mak, jangan sakit lagi, ya..
melihat wajahmu yang cerah kini
aduhai, mak, ini sudah melebihi dari semua mimpi surgawi
bagiku, saudara-saudariku, bagi kami anak-anakmu.

Share: